“Teposliro” dan “Semuci” di antara
Akuntan Publik: Apakah Kita Paham, dan Apakah Kita Peduli? Penelitian ini mengkaji proses pengambilan
keputusan akuntan publik pada situasi etis dilematis yang sering dihadapi dalam
aktivitas profesional mereka. Penelitian ini meneliti pengaruh ‘teposliro’
terhadap pengambilan keputusan etis serta mengkaji keberadaan ‘semuci’ atau
konsep yang menganggap diri ‘lebih suci dari orang lain’ dalam penelitian etika
di bidang akuntansi. Keputusan etis diukur dengan menjawab pertanyaan lima
skenario problem etis yang sering terjadi dalam praktik audit. Temuan penting
penelitian ini menunjukkan bahwa ‘teposliro’ mempengaruhi pengambilan keputusan
etis, selain itu juga ditemukan keberadaan perasaan 'semuci' yang ada di antara
para akuntan publik ketika berhadapan dengan masalah etis.
Pendahuluan
Pengertian tepo
seliro dan semuci :
1. Tepo seliro adalah
bahasa dan sekaligus nasihat Jawa, agar didalam menjalani kehidupan, kita
selalu dapat bersikap menenggang perasaan orang lain. Sikap tepo seliro,
mungkin juga awal dari sikap untuk dapat bertindak adil. Orang hanya dapat
bersikap adil, kalau bisa memahami perasaan orang lain (Pelita : 2016).
2. Tepo seliro
adalah sikap diri pribadi yang sangat menghormati orang lain dengan cara
tenggang rasa untuk menciptakan keserasian hubungan antar sesama, sehingga
hubungan menjadi akrab dan menghargai (Sesaji: 2009).
3.
Sikap semuci
adalah simbol arogansi keagamaan, sekaligus kekerdilan mental. Orang zuhud dan
wara’, tidak akan menampakkan kesalehan dan kealimannya. Sikap semuci merupakan
wujud ketakaburan (Nashir: 2008)
Review Jurnal
Masalah
etika dalam profesi akuntansi selalu menjadi perhatian masyarakat. skandal
akuntansi keuangan menghasilkan sorotan tajam pada profesi akuntan publik, hal
ini menunjukkan fakta empiris bahwa etika dalam profesi akuntansi adalah
penting.
Auditor
sering dihadapkan dengan situasi dilema yang memungkinkan tidak bertindak
independen dalam kegiatan mereka (Bazerman, Morgan, dan Loewenstein 1997; Finn,
Chonko, dan Hunt 1988; Kaplan 2004). Auditor dituntut untuk tetap profesional
independen klien, tetapi pada saat yang sama mereka bergantung pada kebutuhan
klien karena menerima fee kontrak, sehingga sering auditor berada dalam situasi
dilematis.
Situasi
dilema etis adalah situasi ketika seseorang berhadapan dengan dua atau lebih
pilihan yang relevan, tapi itu pilihan yang saling bertentangan dan penuh
dengan masalah etika, atau ketika setiap alternatif keputusan diambil, itu akan
berdampak yang tidak diinginkan pada satu atau lebih orang lainnya (Dolgoff dan
Skolnik 1996).
Keputusan
etis menurut Jones (1991) adalah keputusan baik secara hukum dan dapat diterima
secara moral oleh masyarakat. Hunt dan Vitell (1986) mendefinisikan keputusan
etis adalah keputusan bahwa pilihan paling etis di antara alternatif masalah
etika. McMahon dan Harvey (2007) juga menyatakan bahwa model pembuatan keputusan etis tidak menjelaskan bagaimana seseorang
harus berusaha untuk membuat keputusan etis, tetapi lebih fokus pada bagaimana
proses etis itu sendiri pengambilan keputusan.
Sisanya
(di Jones 1991) mengembangkan model yang sering digunakan dalam memahami proses
pengambilan keputusan etis. Model ini menyatakan bahwa model pengambilan
keputusan dan perilaku etis terdiri dari empat tahap:
1)
Tahap ketika
seseorang merespon tentang isu-isu moral dalam situasi dilema etika.
2) Ppengambilan
keputusan etis, yaitu tahap seseorang membuat keputusan setelah menanggapi
masalah etika.
3) Niat moral niat
seseorang untuk ingin berperilaku etis atau sebaliknya, sebagai kelanjutan dari
keputusan yang dipilih.
4)
Perilaku moral,
tindakan seseorang untuk berperilaku etis atau tidak etis sendiri.
Teposliro atau Perspektif Mengambil di Pengambilan
Keputusan Etis
Fritzsche
dan Oz (2007) menyatakan variabel individu sangat berpengaruh dalam membuat
keputusan etis. Teposliro atau perspektif taking adalah unsur penting dari
empati (Davis 1980). Empati adalah salah satu kemampuan individu sangat
diperlukan saat berinteraksi dengan orang lain. Empati terdiri dari tiga
komponen utama, yaitu:
a) respon afektif
terhadap sikap atau perasaan orang lain (respon afektif),
b) proses kognitif
untuk melihat tindakan dari perspektif orang lain
c) usaha sadar untuk
bertindak empati (Segal, Gerdes, Stromwall, dan Napoli 2010).
Empati
adalah multidimensi, yang terdiri empat dimensi, (1) "teposliro"
(perspektif-taking), kecenderungan untuk secara spontan melakukan penilaian
psikologis dari sudut pandang orang lain (2) fantasi, kecenderungan untuk
mengubah dirinya menjadi karakter imajiner ( 3) empatik concern, orientasi
perasaan simpati bagi kemalangan orang lain dan (4) personal distress, perasaan
sendiri cemas dan tidak nyaman dalam berurusan dengan orang lain (Davis 1980;
1983).
Individu dengan teposliro tingkat
tinggi akan melihat dirinya sering dari perspektif orang lain dan melihat orang
lain dari sudut pandang dia. Individu dengan teposliro tingkat tinggi akan
memiliki keuntungan dalam mengkoordinasikan tindakan ketika berinteraksi dengan
orang lain atau ketika menghadapi situasi yang sangat kompleks. Penelitian ini juga ingin membuktikan teposliro
(perspektif-taking) sebagai pembentuk karakter moral dan pengaruhnya terhadap
pengambilan keputusan etis.
"Semuci" atau suci-dari-Engkau
Sebuah
"semuci" atau "suci-daripada-Engkau" hasil persepsi bias
dalam individu mempersepsikan rekan-rekan mereka sebagai berperilaku kurang
etis dari diri mereka sendiri ketika dihadapkan dengan etis pasti perilaku yang
berhubungan dengan pekerjaan (Tyson 1990). Ada banyak penelitian tentang etika dalam
akuntansi, tetapi tidak mengungkapkan banyak tentang perilaku auditor dalam
pengambilan keputusan etis, terutama tentang perlunya pengakuan pembenaran
sosial untuk keputusan yang telah diambil. Pengakuan pembenaran sosial yang
dibutuhkan oleh pengambil keputusan untuk memperoleh pengakuan dan legitimasi
keputusan yang telah diambil adalah moral dan etika. Patel dan Millanta (2011)
meneliti konsep 'suci-daripada-Engkau' antara akuntan di Australia dan India menyatakan
bahwa lingkungan sosial dan budaya mempengaruhi "semuci" perilaku.
Ini berarti bahwa dalam konteks budaya tertentu, ada kebutuhan untuk pengakuan
sosial bahwa seseorang disebut lebih etis atau lebih suci dari orang lain dalam
pengambilan keputusan etis.
Dengan
kata lain, adalah apakah auditor pembuatan keputusan etis di Indonesia juga
membutuhkan pengakuan sosial atau legitimasi keputusan etis yang telah dibuat.
Pemeriksaan persepsi bias yang "suci-daripada-Engkau" penting dalam
industri akuntansi karena bias ini dapat menumbuhkan budaya organisasi yang
tidak etis. Individu dapat merasionalisasi perilaku yang tidak etis sebagai
diperlukan untuk berhasil bersaing dengan orang lain yang mereka anggap sebagai
jauh lebih berprinsip. Jadi dalam
penelitian ini dapat diharapkan ada "semuci" perasaan di antara
akuntan publik di Indonesia.
Metode
Dimensi
teposliro dalam penelitian ini diadaptasi dari instrumen yang dikembangkan oleh
Davis (1980). Dimensi ini mengukur titik individu pandang situasi atau kondisi.
Orang dengan tingkat yang lebih tinggi dari teposliro, maka akan memiliki
perspektif yang lebih beragam dan tidak hanya didasarkan pada sudut pandang
sendiri. Dimensi menurut tingkat
teposliro diukur dengan enam indikator, masing-masing indikator diukur dengan
5-point skala Likert tingkat kesepakatan.
Etis
pengambilan keputusan variabel dalam penelitian ini diukur dengan menyiapkan
skenario mendekati situasi dilema etika yang akuntan situasi pekerjaan yang
sebenarnya. Penggunaan skenario untuk mempelajari etika dalam rangka untuk
menggambarkan situasi sebenarnya sudah dilakukan oleh banyak peneliti
(Claypool, Fetyko, dan Pearson 1990; Cohen, Pant, dan Sharp 1996; Mumford et al
2006;. Sims dan Keon 1999).
Dalam
studi yang bertanya tentang topik-topik sensitif maka akan sulit untuk
mendapatkan jawaban yang akurat dari responden. Sehingga sering digunakan untuk
mengajukan pertanyaan secara tidak langsung untuk menguji akurasi jawaban
responden. Salah satu alternatif adalah dengan mengajukan pertanyaan seperti
"melakukan kolega Anda juga melakukan hal yang sama?" Pertanyaan ini
sebenarnya mengkonfirmasi jawaban yang diberikan oleh responden, namun
pertanyaan ini juga dapat menjadi cerminan sejauh mana keinginan pengakuan
sosial atau legitimasi sosial dari responden terhadap keputusan yang dibuat
pada subjek yang bersangkutan.
Responden
diminta untuk mengevaluasi tindakan auditor-incharge tanggapan mereka pada dua
pertanyaan terakhir. Ini adalah (i) apakah mereka akan membuat keputusan yang
sama seperti auditor dalam skenario, dan (ii) apakah rekan-rekan mereka akan
membuat keputusan yang sama. Tanggapan ditangkap pada lima titik skala Likert
mulai dari "sangat mungkin" untuk "sangat tidak mungkin".
Perbedaan antara kedua pertanyaan adalah ukuran dari setiap bias persepsi
"suci-daripada-Engkau" yang mungkin hadir dalam tanggapan.
Teposliro diukur
dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan seperti ini:
1)
Saya selalu
mencoba untuk melihat kedua sisi sudut pandang di setiap masalah yang saya
hadapi
2)
Ketika saya
marah dengan seseorang, saya selalu mencoba untuk memahami pola pikir orang
Sementara, salah
satu Skenario Etika yang dapat digunakan adalah seperti berikut:
Dalam
pemeriksaan laporan keuangan Bank, auditor menemukan beberapa hal yang belum
diungkapkan dalam pemeriksaan sebelumnya. Semua catatan ini mengarah ke
pelanggaran serius terhadap peraturan perbankan yang ditetapkan oleh
pemerintah. Meskipun kejadian ini tidak berdampak terhadap posisi keuangan bank
saat ini, tetapi dalam jangka panjang serius akan berdampak pada kinerja
keuangan bank.
Action: Auditor
tidak mengambil tindakan apapun
1. Apakah Anda
berpikir ada masalah etika dalam kasus tersebut?
2. Jika Anda
adalah seorang auditor, apakah itu mungkin bertindak seperti itu?
3. Apakah
pasangan Anda dapat bertindak sebagai auditor?
Hasil
Kuesioner
yang disebarkan kepada akuntan publik yang sedang mengikuti IAPI (Institut
Akuntan Publik Indonesia) pertemuan di Surabaya dan Jakarta. Ada beberapa 129
akuntan publik yang menyelesaikan kuesioner dan dapat diproses lebih lanjut
dalam penelitian ini.
· Hasil pengujian
WarpPLS software menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara teposliro
dan pengambilan keputusan etis. Hal ini menunjukkan, dan dapat diprediksi bahwa
akuntan publik yang memiliki teposliro tinggi akan membuat keputusan yang
relatif lebih etis.
· Tes t
menunjukkan perbedaan yang signifikan antara keputusan akuntan publik rata-rata
dari yang lain. Hal ini membuktikan bahwa akuntan publik secara sosial juga
ingin diakui lebih etis dalam perilaku mereka.
· Dalam makalah
ini, telah berpendapat bahwa teposliro dapat mempengaruhi individu dalam proses pengambilan keputusan etis. Dalam
penelitian ini membuktikan bahwa 'perspektif taking' pengaruh pada keputusan
etis. Hal ini juga membuktikan bahwa orang yang memiliki tingkat tinggi
teposliro, maka keputusan juga relatif lebih etis.
Kesimpulan
Penelitian
ini memberikan bukti kuat bahwa efek teposliro atau perspektif taking diarahkan
menciptakan dan memelihara ikatan sosial dan meningkatkan koordinasi sosial
dalam penilaian etika. Penelitian ini memberikan kontribusi kepada auditor
dengan cara dan keyakinan bahwa aktivitas audit tidak hanya menuntut kompetensi
teknis akuntansi, tetapi ketika berhadapan dengan masalah etika, auditor harus
lebih sensitif dan kesadaran etis dengan memperkuat nilai-nilai karakter moral
sebagai bentuk tanggung jawab profesional. Dalam keputusan etis, akuntan tidak
harus berpikir tentang dirinya sendiri, tetapi juga memikirkan yang lain.
Budaya
di Indonesia sangat membutuhkan pengakuan dari individu untuk secara moral
dianggap suci, juga mempengaruhi perilaku akuntan dalam membuat keputusan etis.
Studi ini membuktikan bahwa ketika membuat keputusan etis, akuntan ingin dia
sosial dianggap mulia.
Masalah
'semuci' masalah tantangan bagi profesi akuntansi. Mulai dari pendidikan
akuntansi tingkat untuk menjadi seorang akuntan profesional, akuntan harus
orang integritas tinggi dan karakter moral yang kuat. Dalam pengambilan
keputusan etis oleh auditor, hal ini sebenarnya sangat penting terlepas dari
apakah keputusan itu secara sosial lebih etis atau tidak. Akuntan tidak boleh terjebak dalam arti tidak tepat; merasa diri lebih
etis atau perasaan yang lebih sakral. Dalam kegiatan tersebut, tidak hanya
melihat di luar, tapi di balik semua itu, lebih substansi, harus dijalankan
dengan menjunjung tinggi etika, bukan untuk pengakuan sosial.
Referensi :
Budisusetyo, S.,
dan B. Subroto. 2011. “Teposliro” and
“Semuci” Among Public Accountants: Do We Know, and Do We Care? Jurnal
Akuntansi Multiparadigma, Vol 3 No 2. pp 208-216.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar