Welcome to My blog

"Bila kamu tak tahan lelahnya belajar, maka kamu akan menanggung perihnya kebodohan.(Imam Syafi’i)"

Rabu, 13 April 2016

Akuntansi Malangan: Salam Satu Jiwa dan Konsep Kinerja Klub Sepak Bola Oleh Iwan Triyuwono

Pendahuluan
Penelitian ini bertujuan untuk membangun konsep kinerja klub sepak bola dengan menggunakan budaya khas kota Malang, yaitu budaya basa walik-an, malangkuçeçwara, dan salam satu jiwa. Penelitian ini menggunakan paradigma spiritualis dan disain penelitian spiritualis untuk mencetak konsep kinerja. Melalui metode zikir, doa, dan tafakur, peneliti mendapatkan metafora bola sebagai alat untuk menganalisis data. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsep kinerja klub sepak bola berorientasi kepada titik terdalam spiritual manusia, yaitu takwa yang disimbolkan dengan titik pusat bola dengan nilai budaya “salam satu jiwa.” Orientasi ke dalam adalah refleksi dari basa walian yang membalik kepentingan materi ke kepentingan spiritual. Setiap pihak dapat menggunakan jalur profesinya masing-masing untuk masuk ke dalam titik Tuhan (takwa) melalui jalan kebenaran mental malangkucecwara sebagai jembatan penghubung antara titik kesejahteraan materi, sebagai bagian terluar dari bola, dengan titik Tuhan.
        
         Banyak peneliti yang mengembangkan konsep kinerja mulai dari yang paling sederhana, yaitu Return of Investment (ROI) sampai yang paling kompleks balanced scorecard. Konsep kinerja mempengaruhi perilaku dalam manajemen. Konsep-konsep ini hanya diterapkan untuk manajemen di sektor bisnis, tidak sampai ke sektor klub sepak bola di Indonesia. Di Indonesia kita ketahui bahwa manajemen klub sepak bolanya tidak se-profesional diluar negeri.
Penelitian sebelumnya, Wulandary (2012) memaknai pemain sepak bola merupakan asset non-keuangan, aktiva penggerak komersial dan aktiva sosio-ekonomis dalam manajemen. Kesimpulannya, pemain sepak bola adalah kunci utama bagi kinerja dan nama baik klub. Oleh karena itu, Burton & Chadwick (2014), Spieler et., al. (2007), Humara (2005), Niednagel (2004), dan Hyllegard et al. (2001) memberikan perhatian pada aspek pemain, mulai dari kateristik fisik, aspek psikologis, faktor lingkungan, sampai pada aspek branding. Bagi mereka, rekruitment pemain sepak bola merupakan titik krusial untuk kinerja dan nama baik klub di masa yang akan datang.
Penelitian ini mengangkat pertanyaan: bagaimana bentuk kinerja klub sepak bola dengan menggunakan budaya lokal Malang? Pertanyaan penelitian ini mendorong peneliti untuk menemukan dan merumuskan bentuk konsep kinerja klub sepak bola.

Metode
Penelitian ini, dalam upayanya mengontruksi konsep kinerja, menggunakan cara pandang spiritualis (spiritualist paradigm). Cara pandang ini sebetulnya menekankan pada keutuhan sebuah konsep, yaitu keutuhan aspek kemanusiaan, budaya, spiritualitas, dan ketuhanan. Oleh karena itu, sifat-sifat manusia, budaya lokal, dan keimanan pada Tuhan dalam penelitian ini menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Penelitian ini menganggap bahwa peneliti adalah alat utama untuk analisis data Sebagai alat utama, peneliti harus berzikir, berdoa, dan bertafakur sehingga dalam dirinya muncul sebuah alat untuk menganalisis data (Aman 2014; 2013)

Hasil Penelitian
Metafora ini tidak memiliki hierarchy. Semua bagian dari bola memiliki kesamaan. Dengan metafora ini beberapa data, yang berfungsi sebagai bahan, diracik sedemikian rupa untuk menghasilkan konsep kinerja. Bahan-bahan yang dimaksud di sini adalah basa wali’an Malang, budaya masyarakat Malang, dan budaya masyarakat sepak bola Malang.
1)      Metafora bola sebagai model analisis
Metafora bola dan basa wali-an membalik konsep kinerja modern, misalnya balanced scorecard (BSC) Seperti kita ketahui bahwa BSC tetap mempertahankan mengukuran keuangan tradisional (financial perspective). Kaplan & Norton 1996: 7) Pengembangan ke perspektif non-keuangan dilakukan dalam rangka mencapai tarjet laba yang ada dalam perspektif keuangan.
ROCE menjadi tujuan utama yang didorong oleh pelanggan. Loyalitas pelanggan sebetulnya banyak dipengaruhi oleh ketepatan waktu pengiriman barang dan jasa (on-timedelivery, OTD). OTD hanya bisa dilakukan jika proses bisnis internal yang meliputi kualitas proses (quality process) dan proses siklus waktu (cycle time process) dilakukan dengan baik. Proses bisnis internal dapat berjalan baik jika para pekerja memiliki keterampilan yang baik, yaitu melalui proses pelatihan dan peningkatan keterampilan (learning and growth perspective).

2) Bahasa walik-an: menarik bagian luar ke dalam.
Dengan menggunakan konsep basa walik-an tersebut, kita membalik sesuatu yang sifatnya eksternal dan materi (yaitu, laba sebagai tujuan puncak atau tujuan eksternal) ke sesuatu yang sifatnya internal dan spiritual. Jika konsep BSC menempatkan laba sebagai posisi puncak dari tujuan perusahaan (yang sifatnya eksternal dan materi), maka untuk konsep kinerja klub sepak bola ini tujuan yang sifatnya eksternal ditarik ke dalam dan konsekuensinya bersifat spiritual.

3) Malangkuçeçwara: tali penghubung yang materi dengan yang spiritual.
Nilai yang terkandung dalam kata malangkuçeçwara tersebut kita gunakan sebagai garis penghubung antara yang di luar dengan yang di dalam. Artinya, untuk menarik sesuatu yang di luar agar dapat masuk ke dalam hanya bisa dilakukan dengan cara menggunakan nilai-nilai kebenaran. Nilai-nilai kebenaran yang dimaksud di sini adalah mulai dari tataran fisik, mental, dan spiritual. Nilai pada tataran fisik adalah kesejahteraan pangan, papan, dan sandang sebagai kebutuhan dasar manusia. Pada tataran mental adalah nilai jujur, sabar, komitmen, disiplin, tekun, terbuka, dan lain-lainnya, sedangkan pada tingkat spiritual meliputi keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

4) Para pihak (stakeholders) sebagai dimensi luar.
Kulit luar bola tersebut tidak lain adalah stakeholders (para pihak yang berkepentingan) dari klub sepak bola. Kemajuan dan kemunduran klub sepak bola memang tidak dapat lepas dari peran aktif para pihak. Para pihak dari klub sepak bola meliputi:


a.       Pemain,
b.      Pemilik,
c.       Pengelola,
d.      Pelatih,
e.       Pendukung (supporter), dan
f.       Pendonor


Bagi penelitian ini, manusia lebih penting dibanding dengan klub. Jadi, orientasi dari konstruksi konsep kinerja klub di sini menekankan pada arah destinasi kehidupan akhir manusia melalui profesi persepakbolaan. Konsep kinerja bermetafora bola ini memiliki enam dimensi, yaitu dimensi pemain, dimensi pemilik, dimensi pengelola, dimensi pelatih, dimensi penonton (supporter), dan dimensi pendonor. Masing-masing dimensi dijelaskan berikut di bawah ini.


Dimensi 1: pemain sebagai aktiva klub.
Nilai dari pemain terletak pada aspek materi, mental, dan bahkan spiritual meskipun yang terakhir ini jarang diperhatikan oleh orang sebagai bagian penting dari nilai aktiva pemain.
Dimensi 2: pemilik sebagai penyedia lapangan.
Pemilik dapat berbentuk orang pribadi atau dalam bentuk lembaga seperti yayasan. Pemilik menanamkan investasi ke dalam klub agar klub dapat hidup dan berkembang serta memberikan manfaat bagi masyarakat banyak. Jumlah investasi yang ditanamkan ke dalam klub dan keuntungan yang diharapkan oleh pemilik dapat dianggap sebagai titik materi yang berada pada kulit luar bola. Dari titik materi ini, kemudian dapat ditarik garis malangkuçeçwara menuju titik pusat bola. Sepanjang garis malangkuçeçwara terdapat titik-titik mental yang perlu ada dan dimiliki oleh pemilik. Titik-titik mental tersebut meliputi: pelihara, perhatian, keberlangsungan, tanggung-jawab, dan ikhlas.
Dimensi 3: pengelola sebagai pemelihara.
Pengelola mempunyai peran yang sangat penting dalam mengalokasikan sumber daya yang dimiliki oleh klub agar dapat digunakan secara efisien untuk mencapai tujuan klub. pada lempeng materi ini kemudian ditarik garis jalan kebenaran malangkuçeçwara dalam bentuk: pelihara, perhatian, keberlangsungan, tanggung-jawab, kreasi, inovasi, ikhlas, dan ikhsan. Semua bagian ini merupakan modal karakter yang sangat penting dari pengelola. Keberadaan karakter tersebut merupakan energi yang sangat berarti bagi perkembangan dan prestasi klub.
Dimensi 4: pelatih sebagai pendidik.
Pelatih merupakan elemen penting bagi pengembangan karir dan prestasi pemain. Pelatih mempersembahkan pikiran, tenaga, dan waktu untuk melatih dan mendidik pemain agar pemain dapat menguatkan keterampilan dan bakatnya serta membuat klub berjaya dalam arena pertandingan. Sebagai imbalannya, pelatih mendapatkan materi dan fasilitas lainnya dari pengelola klub.
Dimensi 5: pendukung sebagai penyemangat.
Merekalah para pihak yang meramaikan sepak bola. Tanpa pendukung, pertandingan sepak bola menjadi tidak menarik. Penonton juga menjadi daya motivasi dan penyemangat bagi pemain untuk bermain sebaik mungkin dalam sebuah event pertandingan.
Dimensi 6: pendonor sebagai penyemarak.
Pendonor (sponsor) adalah pihak lain di luar klub yang memiliki kepentingan untuk mengiklankan produk yang ingin dipasarkan. Secara materi, pendonor adalah pihak penting yang ikut menyemarakkan event-event pertandingan sepak bola

Konsep kinerja berketuhanan. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa titik pusat bola adalah simbol tujuan akhir dari para pihak klub sepak bola. Menurut konsep ini para pihak yang berkepentingan dengan klub sepak bola merupakan bagian utama dan penting, karena mereka adalah sumber daya manusia yang dapat menentukan maju-mundurnya dan menentukan arah pengembangan klub sepak bola. Sebagai pihak yang memegang peranan penting, maka secara ideal para pihak klub sepak bola menjalani profesinya tidak sekedar memajukan dan menikmati estetika permainan sepak bola, tetapi juga menjadikan profesi persepakbolaan sebagai jalan menuju kepada Tuhan. Semakin tunduk dan patuh, maka semakin bertakwa dan mulia. Dengan metafora bola dan konsep basa wali-an, maka konsep kinerja yang biasanya berorientasi keluar (materi) kemudian dibalik dan diarahkan ke dalam (spiritual). Bagian luar bola dikonotasikan sebagai kulit luar yang sifatnya materi (seperti keinginan untuk mendapatkan laba maksimal, aktiva yang besar, dan akumulasi modal).

Simpulan
Para pihak yang terdiri dari pemain, pemilik, pengelola, pelatih, pendukung (supporter), dan pendonor merupakan unsur utama dalam bangunan konsep kinerja klub sepak bola. Oleh karena itu, konsep ini berorientasi pada model humanis yang dapat mendorong para pihak untuk terlibat aktif dalam memperoleh kesejahteraan materi, mental, dan spiritual. Capaian puncak, yang sebetulnya merupakan bagian terdalam dari diri manusia, adalah takwa.
Para pihak secara kondusif dapat mencapai kedudukan yang tinggi dalam hidupnya melalui peran dan fungsinya masing-masing dalam klub. Para pihak dapat berangkat dari titik capaian kesejahteraan materi untuk masuk ke tujuan terdalam, yaitu takwa sebagai kesejahteraan spiritual.

Referensi :
Triyuwono, I. 2015. Akuntansi Malangan: Salam Satu Jiwa dan Konsep Kinerja Klub Sepakbola. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Vol 6 No 2. pp 290-303.

Review Jurnal “Teposliro” and “Semuci” Among Public Accountants: Do We Know, And Do We Care? oleh Sasongko Budisusetyo dan Bambang Subroto


“Teposliro” dan “Semuci” di antara Akuntan Publik: Apakah Kita Paham, dan Apakah Kita Peduli? Penelitian ini mengkaji proses pengambilan keputusan akuntan publik pada situasi etis dilematis yang sering dihadapi dalam aktivitas profesional mereka. Penelitian ini meneliti pengaruh ‘teposliro’ terhadap pengambilan keputusan etis serta mengkaji keberadaan ‘semuci’ atau konsep yang menganggap diri ‘lebih suci dari orang lain’ dalam penelitian etika di bidang akuntansi. Keputusan etis diukur dengan menjawab pertanyaan lima skenario problem etis yang sering terjadi dalam praktik audit. Temuan penting penelitian ini menunjukkan bahwa ‘teposliro’ mempengaruhi pengambilan keputusan etis, selain itu juga ditemukan keberadaan perasaan 'semuci' yang ada di antara para akuntan publik ketika berhadapan dengan masalah etis.

Pendahuluan
Pengertian tepo seliro dan semuci :
1.    Tepo seliro adalah bahasa dan sekaligus nasihat Jawa, agar didalam menjalani kehidupan, kita selalu dapat bersikap menenggang perasaan orang lain. Sikap tepo seliro, mungkin juga awal dari sikap untuk dapat bertindak adil. Orang hanya dapat bersikap adil, kalau bisa memahami perasaan orang lain  (Pelita : 2016).
2.     Tepo seliro adalah sikap diri pribadi yang sangat menghormati orang lain dengan cara tenggang rasa untuk menciptakan keserasian hubungan antar sesama, sehingga hubungan menjadi akrab dan menghargai (Sesaji: 2009).
3.      Sikap semuci adalah simbol arogansi keagamaan, sekaligus kekerdilan mental. Orang zuhud dan wara’, tidak akan menampakkan kesalehan dan kealimannya. Sikap semuci merupakan wujud ketakaburan (Nashir: 2008)

Review Jurnal
Masalah etika dalam profesi akuntansi selalu menjadi perhatian masyarakat. skandal akuntansi keuangan menghasilkan sorotan tajam pada profesi akuntan publik, hal ini menunjukkan fakta empiris bahwa etika dalam profesi akuntansi adalah penting.
Auditor sering dihadapkan dengan situasi dilema yang memungkinkan tidak bertindak independen dalam kegiatan mereka (Bazerman, Morgan, dan Loewenstein 1997; Finn, Chonko, dan Hunt 1988; Kaplan 2004). Auditor dituntut untuk tetap profesional independen klien, tetapi pada saat yang sama mereka bergantung pada kebutuhan klien karena menerima fee kontrak, sehingga sering auditor berada dalam situasi dilematis.
Situasi dilema etis adalah situasi ketika seseorang berhadapan dengan dua atau lebih pilihan yang relevan, tapi itu pilihan yang saling bertentangan dan penuh dengan masalah etika, atau ketika setiap alternatif keputusan diambil, itu akan berdampak yang tidak diinginkan pada satu atau lebih orang lainnya (Dolgoff dan Skolnik 1996).
Keputusan etis menurut Jones (1991) adalah keputusan baik secara hukum dan dapat diterima secara moral oleh masyarakat. Hunt dan Vitell (1986) mendefinisikan keputusan etis adalah keputusan bahwa pilihan paling etis di antara alternatif masalah etika. McMahon dan Harvey (2007) juga menyatakan bahwa model pembuatan keputusan etis tidak menjelaskan bagaimana seseorang harus berusaha untuk membuat keputusan etis, tetapi lebih fokus pada bagaimana proses etis itu sendiri pengambilan keputusan.
Sisanya (di Jones 1991) mengembangkan model yang sering digunakan dalam memahami proses pengambilan keputusan etis. Model ini menyatakan bahwa model pengambilan keputusan dan perilaku etis terdiri dari empat tahap:
1)      Tahap ketika seseorang merespon tentang isu-isu moral dalam situasi dilema etika.
2)  Ppengambilan keputusan etis, yaitu tahap seseorang membuat keputusan setelah menanggapi masalah etika.
3)   Niat moral niat seseorang untuk ingin berperilaku etis atau sebaliknya, sebagai kelanjutan dari keputusan yang dipilih.
4)      Perilaku moral, tindakan seseorang untuk berperilaku etis atau tidak etis sendiri.

Teposliro atau Perspektif Mengambil di Pengambilan Keputusan Etis
Fritzsche dan Oz (2007) menyatakan variabel individu sangat berpengaruh dalam membuat keputusan etis. Teposliro atau perspektif taking adalah unsur penting dari empati (Davis 1980). Empati adalah salah satu kemampuan individu sangat diperlukan saat berinteraksi dengan orang lain. Empati terdiri dari tiga komponen utama, yaitu:
a) respon afektif terhadap sikap atau perasaan orang lain (respon afektif),
b) proses kognitif untuk melihat tindakan dari perspektif orang lain
c) usaha sadar untuk bertindak empati (Segal, Gerdes, Stromwall, dan Napoli 2010).
Empati adalah multidimensi, yang terdiri empat dimensi, (1) "teposliro" (perspektif-taking), kecenderungan untuk secara spontan melakukan penilaian psikologis dari sudut pandang orang lain (2) fantasi, kecenderungan untuk mengubah dirinya menjadi karakter imajiner ( 3) empatik concern, orientasi perasaan simpati bagi kemalangan orang lain dan (4) personal distress, perasaan sendiri cemas dan tidak nyaman dalam berurusan dengan orang lain (Davis 1980; 1983).
Individu dengan teposliro tingkat tinggi akan melihat dirinya sering dari perspektif orang lain dan melihat orang lain dari sudut pandang dia. Individu dengan teposliro tingkat tinggi akan memiliki keuntungan dalam mengkoordinasikan tindakan ketika berinteraksi dengan orang lain atau ketika menghadapi situasi yang sangat kompleks. Penelitian ini juga ingin membuktikan teposliro (perspektif-taking) sebagai pembentuk karakter moral dan pengaruhnya terhadap pengambilan keputusan etis.


"Semuci" atau suci-dari-Engkau
Sebuah "semuci" atau "suci-daripada-Engkau" hasil persepsi bias dalam individu mempersepsikan rekan-rekan mereka sebagai berperilaku kurang etis dari diri mereka sendiri ketika dihadapkan dengan etis pasti perilaku yang berhubungan dengan pekerjaan (Tyson 1990).  Ada banyak penelitian tentang etika dalam akuntansi, tetapi tidak mengungkapkan banyak tentang perilaku auditor dalam pengambilan keputusan etis, terutama tentang perlunya pengakuan pembenaran sosial untuk keputusan yang telah diambil. Pengakuan pembenaran sosial yang dibutuhkan oleh pengambil keputusan untuk memperoleh pengakuan dan legitimasi keputusan yang telah diambil adalah moral dan etika. Patel dan Millanta (2011) meneliti konsep 'suci-daripada-Engkau' antara akuntan di Australia dan India menyatakan bahwa lingkungan sosial dan budaya mempengaruhi "semuci" perilaku. Ini berarti bahwa dalam konteks budaya tertentu, ada kebutuhan untuk pengakuan sosial bahwa seseorang disebut lebih etis atau lebih suci dari orang lain dalam pengambilan keputusan etis.
Dengan kata lain, adalah apakah auditor pembuatan keputusan etis di Indonesia juga membutuhkan pengakuan sosial atau legitimasi keputusan etis yang telah dibuat. Pemeriksaan persepsi bias yang "suci-daripada-Engkau" penting dalam industri akuntansi karena bias ini dapat menumbuhkan budaya organisasi yang tidak etis. Individu dapat merasionalisasi perilaku yang tidak etis sebagai diperlukan untuk berhasil bersaing dengan orang lain yang mereka anggap sebagai jauh lebih berprinsip. Jadi dalam penelitian ini dapat diharapkan ada "semuci" perasaan di antara akuntan publik di Indonesia.

Metode
Dimensi teposliro dalam penelitian ini diadaptasi dari instrumen yang dikembangkan oleh Davis (1980). Dimensi ini mengukur titik individu pandang situasi atau kondisi. Orang dengan tingkat yang lebih tinggi dari teposliro, maka akan memiliki perspektif yang lebih beragam dan tidak hanya didasarkan pada sudut pandang sendiri. Dimensi menurut tingkat teposliro diukur dengan enam indikator, masing-masing indikator diukur dengan 5-point skala Likert tingkat kesepakatan.
Etis pengambilan keputusan variabel dalam penelitian ini diukur dengan menyiapkan skenario mendekati situasi dilema etika yang akuntan situasi pekerjaan yang sebenarnya. Penggunaan skenario untuk mempelajari etika dalam rangka untuk menggambarkan situasi sebenarnya sudah dilakukan oleh banyak peneliti (Claypool, Fetyko, dan Pearson 1990; Cohen, Pant, dan Sharp 1996; Mumford et al 2006;. Sims dan Keon 1999).
Dalam studi yang bertanya tentang topik-topik sensitif maka akan sulit untuk mendapatkan jawaban yang akurat dari responden. Sehingga sering digunakan untuk mengajukan pertanyaan secara tidak langsung untuk menguji akurasi jawaban responden. Salah satu alternatif adalah dengan mengajukan pertanyaan seperti "melakukan kolega Anda juga melakukan hal yang sama?" Pertanyaan ini sebenarnya mengkonfirmasi jawaban yang diberikan oleh responden, namun pertanyaan ini juga dapat menjadi cerminan sejauh mana keinginan pengakuan sosial atau legitimasi sosial dari responden terhadap keputusan yang dibuat pada subjek yang bersangkutan.
Responden diminta untuk mengevaluasi tindakan auditor-incharge tanggapan mereka pada dua pertanyaan terakhir. Ini adalah (i) apakah mereka akan membuat keputusan yang sama seperti auditor dalam skenario, dan (ii) apakah rekan-rekan mereka akan membuat keputusan yang sama. Tanggapan ditangkap pada lima titik skala Likert mulai dari "sangat mungkin" untuk "sangat tidak mungkin". Perbedaan antara kedua pertanyaan adalah ukuran dari setiap bias persepsi "suci-daripada-Engkau" yang mungkin hadir dalam tanggapan.

Teposliro diukur dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan seperti ini:
1)      Saya selalu mencoba untuk melihat kedua sisi sudut pandang di setiap masalah yang saya hadapi
2)      Ketika saya marah dengan seseorang, saya selalu mencoba untuk memahami pola pikir orang

Sementara, salah satu Skenario Etika yang dapat digunakan adalah seperti berikut:
Dalam pemeriksaan laporan keuangan Bank, auditor menemukan beberapa hal yang belum diungkapkan dalam pemeriksaan sebelumnya. Semua catatan ini mengarah ke pelanggaran serius terhadap peraturan perbankan yang ditetapkan oleh pemerintah. Meskipun kejadian ini tidak berdampak terhadap posisi keuangan bank saat ini, tetapi dalam jangka panjang serius akan berdampak pada kinerja keuangan bank.
Action: Auditor tidak mengambil tindakan apapun
1. Apakah Anda berpikir ada masalah etika dalam kasus tersebut?
2. Jika Anda adalah seorang auditor, apakah itu mungkin bertindak seperti itu?
3. Apakah pasangan Anda dapat bertindak sebagai auditor?

Hasil
Kuesioner yang disebarkan kepada akuntan publik yang sedang mengikuti IAPI (Institut Akuntan Publik Indonesia) pertemuan di Surabaya dan Jakarta. Ada beberapa 129 akuntan publik yang menyelesaikan kuesioner dan dapat diproses lebih lanjut dalam penelitian ini.
·   Hasil pengujian WarpPLS software menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara teposliro dan pengambilan keputusan etis. Hal ini menunjukkan, dan dapat diprediksi bahwa akuntan publik yang memiliki teposliro tinggi akan membuat keputusan yang relatif lebih etis.
·    Tes t menunjukkan perbedaan yang signifikan antara keputusan akuntan publik rata-rata dari yang lain. Hal ini membuktikan bahwa akuntan publik secara sosial juga ingin diakui lebih etis dalam perilaku mereka.
·     Dalam makalah ini, telah berpendapat bahwa teposliro dapat mempengaruhi individu dalam proses pengambilan keputusan etis. Dalam penelitian ini membuktikan bahwa 'perspektif taking' pengaruh pada keputusan etis. Hal ini juga membuktikan bahwa orang yang memiliki tingkat tinggi teposliro, maka keputusan juga relatif lebih etis.

Kesimpulan
Penelitian ini memberikan bukti kuat bahwa efek teposliro atau perspektif taking diarahkan menciptakan dan memelihara ikatan sosial dan meningkatkan koordinasi sosial dalam penilaian etika. Penelitian ini memberikan kontribusi kepada auditor dengan cara dan keyakinan bahwa aktivitas audit tidak hanya menuntut kompetensi teknis akuntansi, tetapi ketika berhadapan dengan masalah etika, auditor harus lebih sensitif dan kesadaran etis dengan memperkuat nilai-nilai karakter moral sebagai bentuk tanggung jawab profesional. Dalam keputusan etis, akuntan tidak harus berpikir tentang dirinya sendiri, tetapi juga memikirkan yang lain.
Budaya di Indonesia sangat membutuhkan pengakuan dari individu untuk secara moral dianggap suci, juga mempengaruhi perilaku akuntan dalam membuat keputusan etis. Studi ini membuktikan bahwa ketika membuat keputusan etis, akuntan ingin dia sosial dianggap mulia.
Masalah 'semuci' masalah tantangan bagi profesi akuntansi. Mulai dari pendidikan akuntansi tingkat untuk menjadi seorang akuntan profesional, akuntan harus orang integritas tinggi dan karakter moral yang kuat. Dalam pengambilan keputusan etis oleh auditor, hal ini sebenarnya sangat penting terlepas dari apakah keputusan itu secara sosial lebih etis atau tidak. Akuntan tidak boleh terjebak dalam arti tidak tepat; merasa diri lebih etis atau perasaan yang lebih sakral. Dalam kegiatan tersebut, tidak hanya melihat di luar, tapi di balik semua itu, lebih substansi, harus dijalankan dengan menjunjung tinggi etika, bukan untuk pengakuan sosial.


Referensi :
Budisusetyo, S., dan B. Subroto. 2011. “Teposliro” and “Semuci” Among Public Accountants: Do We Know, and Do We Care? Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Vol 3 No 2. pp 208-216.

Aku dan Akuntansi

Selama ini, dari bangku SMA sampai ketika lulus S1, yang terbersit dalam pikiran saya mengenai akuntansi adalah bagaimana cara menyusun laporan keuangan yang baik dan benar. Tentunya, dalam penyusunan laporan keuangan tersebut melalui serangkaian proses yang berawal dari sebuah transaksi yang menghasilkan bukti transaksi. lalu diklasifikasikan, sampai akhirnya menjadi beberapa jenis laporan keuangan, yaitu :
1. Laporan laba-rugi
2. Neraca
3. Perubahan Ekuitas
4. Laporan Arus Kas

Bagaimana dengan definisi?
Akuntansi merupakan seni, proses dan teknologi.
Seni : yang artinya seni dalam mencatat, menggolongkan dan meringkas transaksi dan kejadian yang bersifat keuangan dengan cara tertentu dan dalam bentuk satuan uang, serta menafsirkan hasil-hasilnya.
Proses : pengidentifikasian, pengesahan, pengukuran, pengakuan, pengklasifikasian dan penyajian data keuangan dasar (bahan oleh akuntansi) yang terjadi dari kejadian-kejadian, transaksi-transaksi atau kegiatan operasi suatu unit organisasidengan cara tertentu untuk menghasilkan informasi yang relevan bagi pihak yang berkepentingan.
Teknologi : akuntansi merupakan alat institusi sosial untuk menyediakan pedoman pengukuran dan metode untuk membuat informasi keuangan.

Berdasarkan uraian tersebut ditambah dengan definisi akuntansi yang selama ini saya pelajari, maka saya sendiri cenderung mendefinisikan akuntansi sebagai seni dalam proses pencatatan yang berkaitan dengan transaksi atau segala sesuatu yang diukur dalam satuan nilai moneter dan hasil akhirnya adalah informasi keuangan yang berguna bagi pihak-pihak tertentu.

Bagaimana hubungan akuntansi dengan logika?
Karaketeristik-karakteristik laporan keuangan yang merupakan hasil akhir dari proses akuntansi menyiratkan bahwa akuntansi pasti sejalan dengan logika. Semua yang berkaitan dengan ekonomi badan usaha dikuantifikasikan.

Bagaimana hubungannya dengan keihklasan? Lalu Ke-Tuhan-an dalam akuntansi?

Perusahaan atau badan usaha tujuan utamanya adalah mencari keuntungan. Sistem akuntansi yang digunakan merupakan akuntansi modern atau konvensional. Akuntansi hanyalah sebuah metode. Namun seiring berjalannya waktu, perusahaan menyadari tanggungjawab moral tidak hanya pada pihak-pihak yang berkepentingan dalam perusahaan, namun juga masyarakat yang secara tidak langsung mempunyai andil. Maka dari itu CSR dimasukan dalam pos laporan keuangan. Walaupun begitu, sebagian orang tetap menilai bahwa itu belum cukup untuk menghadirkan nilai-nilai kemanusiaan, karena faktanya banyak perusahaan yang “menghalalkan” berbagai macam cara untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.

Pengkhianatan dan Kesetiaan

Oleh : Amanah Hijriah

Banyak kisah yang kita temui mengenai kesetiaan dan pengkhianatan. Sewaktu saya browsing untuk mencari beberapa inspirasi, hal yang banyak saya temukan adalah kesetiaan antara seseorang dan kekasihnya, dimana salah satu pihak berusaha mencoba untuk mempertahankan hubungan dan setia kepada kekasihnya, namun pihak yang lain tidak melakukan hal yang sama. Beberapa alasan yang saya temui adalah, 1) karena kekurangan pihak yang dikhianati, entah karena sifat, materi atau fisik, 2) karena ketidakpuasan salah satu pihak, dalam hal ini ia tidak menghargai cinta yang ia miliki, 3) karena hadirnya orang ketiga.

Siapa yang tidak sedih jika dikhianati. Nasihat yang bijak mengatakan, “dikhianati adalah pelajaran agar kau mampu menjadi orang yang setia dan menghargai kesetiaan orang lain, karena kau tau bagaimana rasanya dikhianati. Bukankah jika ingin diperlakukan yang baik, maka perlakukanlah orang lain sebaik yang kau inginkan.”

Terkadang orang menyikapi pengkhianatan tidak untuk belajar dari pengalaman. Ada yang bertekad untuk membalas, yang ia anggap itu hukum karma. Ada yang sedih meratapi, mengasihani diri sendiri. Bahkan ada yang merasa tidak lagi dicintai dan mengakhiri hidupnya. Ini kisah nyata yang terjadi di kota saya bahwa seorang remaja SMA bunuh diri karena diputuskan oleh kekasihnya dan ia mengetahui mantan kekasihnya itu dekat dengan orang lain setelah mereka berpisah. Kadang pikiran seseorang terlalu dangkal. Padahal masih banyak yang mencintainya, keluarganya, teman-temannya dan kerabat-kerabatnya.
Ada juga karena ia dikhianati kekasihnya, ia merasa harga dirinya dilukai. Hal itu seolah menjadi pecut bagi dirinya untuk maju dan berkembang. Dendam dalam hal positif. Ia membuktikan bahwa dirinya bisa menjadi lebih baik walau tanpa kekasih yang mengkhianatinya dan kelak mantan kekasihnya itu akan menyesal.


Dan yang terakhir, adalah orang yang ikhlas. Mungkin awalnya ia merasa sedih, terluka. Namun ia segera menyadari bahwa dengan dikhianati dan mengakhiri hubungannya berarti ia membebaskan orang yang dicintainya untuk bahagia walaupun tidak bersamanya. Tidak ada dendam disana, tidak juga ingin membuktikan bahwa ia jauh lebih pantas. Ia kembalikan semuanya pada takdir, kehendak-Nya bahwa orang yang dicintainya memang bukan untuknya.

Cerita tentang kesetiaan ini panjang sekali. Saya tidak berusaha untuk mengkotak-kotakkan kesetiaan hanya terbatas pada cinta antara satu individu dengan individu lainnya. Oleh karenanya, saya akan ceritakan beberapa hal lain mengenai kesetiaan.

 Kesetiaan dan pengkhianatan juga bercerita tentang rakyat bangsa yang menghargai dan setia pada nilai-nilai negerinya. Ia membangun, berusaha memberi kontribusi melalui pemikiran-ppemikirannya dan melakukan aksi nyata untuk menjaga, melestarikan dan mengharumkan nama bangsanya. Namun ada juga yang rela berkhianat. Banyak sekali cerita tentang pengkhianatan ini, ada yang dilakukan sendirian, ada juga yang melakukannya secara berjamaah. Menjarah, merampok dan mengolok-olok bangsanya sendiri. Berperilaku amoral, bangga mengadopsi budaya luar yang seringkali bertentangan dengan budaya baik bangsa. Bangga berbelanja dan mengkonsumsi produk impor. Mungkin tak selalu, namun terkadang tak sadar.

Kesetiaan dan pengkhianatan juga bercerita tentang,
hamba kepada Tuhannya,
rakyat kepada bangsanya,
bawahan kepada atasannya,
pemimpin kepada rakyatnya,
anak-anak kepada mimpi-mimpi orang tuanya,
seseorang yang mengkhianati dirinya sendiri.

Allah berfirman :

“ Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad ) dan juga janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui  (Al Anfaal : 27)

“Dan jika kamu khawatir terjadinya pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur ., sungguh Allah tidak menyukai orang  yang berkhianat ” (Al Anfaal ’58)

“ Dan janganlah kamu berdebat untuk membela orang –orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa (an Nisaa; 107)


Semoga bermanfaat.

Jumat, 01 April 2016

Review Jurnal Semiotika Laba Akuntansi : Studi Kritikal-Posmodernis Derridean oleh Riduwan, dkk.

Ringkasan oleh Amanah Hijriah

Menurut Belkaoui dalam Riduwan (2011) akuntansi dapat disebut sebagai sebuah bahasa, karena akuntansi memiliki karakteristik leksikal maupun gramatikal. Dengan karakteristik itu, akuntansi dapat diartikan sebagai seperangkat simbol bahasa atau representasi simbolik yang menunjuk pada suatu makna atau realitas tertentu. Salah satu dari simbol-simbol akuntansi adalah “laba”. Berbagai pendapat yang berbeda tentang relasi antara simbol laba dengan realitas referensialnya sebagaimana terungkap melalui kajian kritis-filosofis dari Macintosh et al. (2000) dan Mattessich (2003) tersebut, merefleksikan adanya peluang akan timbulnya perbedaan interpretasi laba akuntansi dalam sebuah ruang komunikasi.
Maka dari itu, penelitian ini bertujuan : 1) memahami penafsiran akuntan dan non-akuntan atas laba akuntansi; 2) melakukan pencarian makna (semiotika) secara dekonstruktif atas penafsiran laba akuntansi untuk mengungkap realitas yang tersembunyi di balik penafsiran tersebut.
Penelitian dengan paradigma kritis-posmodem dilakukan berdasarkan asumsi-asumsi dan keyakinan dari teori kritis dalam memandang realitas sosial. Individu-individu yang menjadi informan dalam penelitian ini terdiri atas: (a) tiga orang akuntan - yang berprofesi sebagai akuntan pendidik, akuntan manajemen dan akuntan publik; dan (b) lima orang non-akuntan - yang berprofesi sebagai manajer keuangan, penasihat investasi, investor, dan analis kredit.
Pandangan Jacques Derrida adalah mencari sudut pandang alternatif yang cenderung disingkirkan oleh pandangan-pandangan yang dominan. Penelitian ini memaknai laba dari berbagai sudut pandang, yaitu:
A. Semiotika Penafsiran Laba Akuntansi sebagai Teks Tingkat Mikro
1.      Semiotika Laba pada Tataran Sintaktik (Struktur)

Laba = pendapatan dan biaya saling berkaitan dari hasil penandingan
2.      Semiotika Laba pada Tataran Semantik (laba akuntansi hasil perhitungan structural)
  • hasil usaha tunai;
  • kenaikan kemampuan ekonomik perusahaan;
  • label perubahan realitas ekonomik perusahaan.
3. Semiotika Laba pada Tataran Pragmatik (kebermanfaatan)
  • alat bantu untuk memahami realitas ekonomik;
  • dasar pengambilan keputusan keuangan; 
  • indikator likuiditas perusahaan.

B. Semiotika Penafsiran Laba Akuntansi sebagai Teks Tingkat Makro
Perbedaan Habitus Akuntan dan Non- Akuntan
Akuntan : laba akuntansi yang dikomunikasikan adalah representasi dari perubahan realitas ekonomik perusahaan tanpa mengkaitkannya secara langsung dengan aliran kas masuk neto pada periode pelaporan laba. 

Non-akuntan: sesuai dengan posisi, pengalaman, pengetahuan dan pemahaman mereka atas konsep akuntansi, non-akuntan memaknai laba akuntansi secara berbeda, misalnya sebagai: (a) aliran kas masuk neto saat ini, atau (b) aliran kas masuk neto saat ini dan masa depan.
1.      Praktik akuntan bersifat hegemonik (kepentingan tertentu)
2.      Praktik akuntansi berjalan dengan kesadaran semu (keputusan secara kolektif)
3.      Laba Akuntansi tidak memiliki kandungan informasi (artinya pesan tidak tersampaikan)

C. Semiotika Dekonstruksif Laba Akuntansi Perspektif Derriden
  1.  Laba Akuntansi adalah jejak
  2. Tidak ada realitas diluar teks laba akuntansi (hanya sebatas symbol dalam laporan)
·         Laba akuntansi hasil simulasi, bukan representasi realitas
·         Makna laba tidak melampaui kepentingan dan pengalaman
·         Akuntansi dan Realitas Sosial
      3. Laba akuntansi metafisika kehadiran (ada karena diadakan)
      4. Laba Akuntansi sebagai produk logosentris (logika atau rasio)


D. Kontribusi Penelitian
  1. Problema komunikasi informasi laba akuntansi dapat terletak pada (a) aspek readability, yaitu kesulitan memaknai laba karena kompleksitas realitas yang direpresentasikan; atau (b) aspek understandability, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami laba yang dipengaruhi oleh karakteristik pembaca, baik dalam hal latar belakang, pengetahuan, pengalaman, kepentingan, tujuan membaca, serta kemampuan melakukan pembacaan secara umum. Penelitian ini membuka pemikiran bahwa pengguna tidak harus mengetahui bagaimana rerangka konseptual dan standar akuntansi diterapkan selama pemrosesan informasi laba.
  2. Penyusunan standar akuntansi perlu mempertimbangkan kepentingan dan kemampuan pengguna dalam memahami informasi laba beserta pos-pos penghasilan dan beban yang membentuknya.
  3. Penelitian ini dapat digunakan sebagai sarana untuk mengembangkan “teori akuntansi” yang sudah ada (teori akuntansi normatif dan teori akuntansi positif).

Sumber Pustaka :
Riduwan, A., Triyuwono, I., Irianto, G., & Ludigdo, U. (2010). Semiotika Laba Akuntansi: Studi Kritikal-Postmodernis Derridean. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, 7(1), 38–60.