PENDIDIKAN
KARAKTER BERBASIS PANCASILA SEBAGAI PEDOMAN DALAM BISNIS YANG BERETIKA
Amanah
Hijriah
Abstrak
Kasus-kasus
pelanggaran bisnis di Indonesia yang beberapa diantaranya melibatkan para
profesional telah mencerminkan bahwa menanamkan
nilai-nilai etika yang ke dalam kode etik tidaklah cukup. Karakter para
individu telah terbentuk karena berbagai macam faktor internal dan eksternal,
sehingga sulit untuk mengimplementasikan ideologi pancasila tanpa kesadaran
dari individu yang bersangkutan. Salah satu faktor yang membentuk individu
adalah faktor pengalaman, pendidikan dan ilmu pengetahuan yang kemudian dirangkai
menjadi sistem pendidikan yang berkarakter bagi stakeholder yang berkaitan
dengan perusahaan. Tulisan ini mencoba memaparkan bahwa pendidikan karakter
bagi individu adalah hal yang penting. Nilai-nilai pancasila yang merupakan
ideologi bangsa Indonesia sebagai dasar dari pendidikan ini, agar dalam
kesehariannya dilingkungan praktek,
individu sebagai profesional tetap menjaga etikanya dengan penuh kesadaran.
Kata kunci : etika,
pancasila, pendidikan karakter
PENDAHULUAN
Dalam
praktek berbisnis, pelanggaran dalam etika bisnis kerap terjadi. Hal ini
dikarenakan mindset dalam berbisnis yaitu “mencari keuntungan sebesar-besarnya
dan biaya sekecil-kecilnya”, sehingga dalam proses mendapatkan keuntungan itu,
para pelaku bisnis bersedia untuk menghalalkan segala cara walaupun itu
bertentangan dengan etika dan moral. Kasus-kasus pelanggaran etika bisnis yang
terjadi di Indonesia diantaranya 1) kasus investasi Bank Century yang
menawarkan produk investasi keluaran PT Antaboga Deltasekuritas dengan nilai
dana yang mereka setorkan bervariasi, ada yang Rp 100 juta sampai Rp 2 miliar dengan
iming-iming keuntungan tinggi; 2) PT. Freeport Indonesia : pembayaran upah
pekerja yang dituding tidak sesuai kesepakatan perusahaan dan pekerja; 3)
Indonesian Port Corporation (PT Pelabuhan Indonesia II) : pengalihan hak pekerjaan
kepada Perusahaan Mitsui & Co. Jepang secara sepihak tanpa pemberitahuan
sebelumnya. 4) PT. Megarsari Makmur (produsen HIT, obat anti nyamuk)
menggunakan zat kimia berbahaya dalam produknya. PT. Adhi Karya dan PT. Wijaya
Karya dengan subkontraktor sekitar 17 perusahaan: kasus korupsi pusat pelatihan
dan sekolah olahraga Hambalang. PT. Dunia Graha dan anggota DPR RI : kasus suap
proyek wisma atlet.
Dari
kasus-kasus tersebut perlu diperhatikan, apakah kode etik dan kekuatan hukum
tidak cukup kuat untuk mengantisipasi terjadinya pelanggaran dalam bisnis? Apa
yang menjadi permasalahan sehingga sulit untuk menghindari
kecurangan-kecurangan ini?
Tulisan
ini merupakan pemikiran kritis dimana dalam menjalankan praktek bisnis, tidak
hanya memperhatikan aspek hukum sebagai tindak lanjut dari pelanggaran, karena
tindakan hukum baru bisa berjalan jika sudah terjadi pelanggaran. Kode etik
adalah salah satu cara mengantisipasi pelanggaran dan memberikan arahan kepada
para profesional tentang batasan-batasan dalam melakukan tugasnya. Jika kode
etik hanya terbatas pada para profesional, maka dari itu, etika yang dibahas
dalam hal ini kepada para stakeholder yang terkait dengan perusahaan.
Etika
bisnis di Indonesia untuk para stakeholder sudah seharusnya menanamkan
nilai-nilai ideologi bangsa, yaitu pancasila. Karena kita hidup di Indonesia,
menghargai dan menjaga nilai-nilai bangsa adalah kewajiban dan
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, tak terkecuali dalam praktek
bisnis.
TINJAUAN LITERATUR
Etika Bisnis
Franz
Margins-Suseno (1987) menyatakan untuk memahami apa itu etika sesungguhnya,
etika perlu dibandingkan dengan ajaran moral. Bertens (2000) menyatakan bahwa
etika bisnis adalah pemikiran atau refleksi kritis tentang moralitas dalam
kegiatan ekonomi dan bisnis. Moralitas selalu berkaitan dengan apa yang
dilakukan manusia, dan kegiatan bisnis merupakan salah satu bentuk kegiatan
manusia. Bisnis memang seharusnya dinilai dari sudut pandang moral, sama
seperti semua kegiatan manusia lainnya juga dinilai dari sudut pandang moral .
Velasques
(2002), etika bisnis merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar
dan salah. Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan
dalam kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis. Hill dan Jones (1998)
menyatakan bahwa etika bisnis merupakan suatu ajaran untuk membedakan antara
salah dan benar guna memberikan pembekalan kepada setiap pemimpin perusahaan
ketika mempertimbangkan untuk mengambil keputusan strategis yang terkait dengan
masalah moral yang kompleks. Lebih jauh ia mengatakan, “Most of us already have a good sense of what is right and what is
wrong. We already know that is wrong to take action that put the lives other
risk” ("Sebagian besar dari kita sudah memiliki rasa yang baik dari
apa yang benar dan apa yang salah. Kita sudah tahu bahwa salah satu untuk
mengambil tindakan yang menempatkan risiko kehidupan yang lain").
Pembentuk Karakter Individu
Campbell
(1982) menayatakan faktor utama dalam mempengaruhi karakter dan perkembangan
moral: faktor keturunan, pengalaman masa kanak-kanak, pemodelan oleh orang
dewasa yang lebih tua penting dan remaja, pengaruh teman sebaya, lingkungan
fisik dan sosial secara umum, media komunikasi, apa yang diajarkan di
sekolah-sekolah dan lembaga lain, dan situasi spesifik dan peran yang menimbulkan
perilaku yang sesuai.
Bidang
etika bisnis meneliti kontroversi moral yang berkaitan dengan tanggung jawab
sosial dari praktek bisnis kapitalis, status moral entitas perusahaan, iklan
menipu, insider trading, hak-hak pekerja, diskriminasi pekerjaan, affirmative action dan pengujian obat.
Karakter. Apa itu karakter? Sebuah kamus menggambarkan karakter sebagai
kompleks sifat mental dan etika menandai seseorang. Tapi sebenarnya karakter
adalah siapa kita sebenarnya. Itu apa yang kita lakukan. Ini akumulasi pikiran,
nilai-nilai, kata-kata dan tindakan. Ini menjadi kebiasaan yang menentukan
takdir kita. Sebuah takdir orang dapat disimpulkan ke jalan sukses atau jalan
kegagalan. Orang bilang Anda dapat mencapai sukses dengan memiliki karakter
yang baik. Tapi apa benar-benar karakter yang baik? Seseorang berkelakuan baik
berpikir benar dan tidak tepat sesuai dengan nilai-nilai universal inti yang
menentukan kualitas dari orang yang baik: kepercayaan, hormat, tanggung jawab,
keadilan, kepedulian, dan kewarganegaraan. Yah apa pun yang kita sebut
karakter, meskipun peran kami sebagai pengembang karakter untuk membimbing
pikiran orang, kata-kata, tindakan, dan kebiasaan terhadap nilai-nilai, dimana
semua orang berbagi, tanpa memandang perbedaan
Pendidikan Karakter
Eni
Purwati (2012 :215) menjelaskan sesungguhnya pendidikan merupakan pembudayaan
atau ”enculturation”, suatu proses
untuk mentasbihkan seseorang mampu hidup dalam suatu masyarakat tertentu dengan
keragaman budaya dan keyakinan. Agar seseorang mampu hidup dalam masyarakat
tertentu, maka seseorang haruslah menerima pendidikan yang cukup dengan
kehadiran guru dengan berbagai perannya. Peran guru dalam proses pembelajaran
di masa sekarang ini bukan lagi sebagai penyampai informasi dan pengetahuan,
tetapi lebih sebagai pendamping yang menfasilitasi terjadinya proses
penghayatan pengalaman. Proses penghayatan pengalaman sebagai proses penemuan
makna kehidupan oleh siswa sebagai pebelajar menuntut peran guru sebai model, fasilitator,
dan dinamisator.
Dengan
pedidikan yang diperoleh seseorang melalui pembelajaran diharapkan tumbuh
pemahaman dan kesadaran tentang budi pekerti, etika, budaya luhur, nilai-nilai moral,
dan nilai-nilai kehidupan lainnya yang dimanifestasikan melalui pembiasaan, keteladanan,
dan penyadaran akan nilai kesantunan dan perilaku yang menjunjung tinggi
nilai-nilai moral. Basis dalam pendidikan karakter ini adalah berdasarkan pada
pancasila dan esensinya yang kemudian dijabarkan kedalam poin-poin sesuai sila.
Ini bertujuan untuk memperjelas arah pendidikan kepada masyarakat, karena etika
bisnis bukan hanya untuk perusahaan, namun semua stakeholder yang berkaitan
dengan perusahaan.
PEMBAHASAN
Pelanggaran Etika Bisnis dan Aspek
Hukum
Menurut
Ahira (2016) aspek-aspek yang kerap dilanggar dalam etika bisnis adalah Individu-individu
yang terlibat dalam bisnis diantaranya 1) pelanggaran dari segi transparansi,
yaitu tidak memberi penjelasan mengenai dana yang digunakan; 2) pelanggaran
dari segi hukum, contohnya melakukan PHK kepada karyawan dan tidak memberi
pesangon sama sekali; 3) pelanggaran dari segi akuntabilitas; 4) pelanggaran
dilihat dari segi prinsip kewajaran, misalnya tidak memenuhi hak pembeli yang
telaj memenuhi semua persyaratan dengan alasan yang tidak jelas atau tidak
wajar; 5) pelanggaran dilihat dari segi prinsip pertanggungjawaban, misalnya
tidak bertanggungjawab terhadap pencemaran lingkungan yang disebabkan perusahaan;
6) pelanggaran dilihat dari segi prinsip empati, misalnya perusahaan tidak
memberi toleransi kepada kliennya yang tertimpa musibah; 7) pelanggaran dilihat
dari segi kejujuran.
Dari
pelanggaran-pelanggaran bisnis yang terjadi, tentu ada hukum yang mengatur
pidana sejauh terkait sejauh apa peanggaran yang telah dilakukan dan siapa saja
yang terlibat. Hukum dan perundang-undangan yang dibuat mengenai bisnis
diantaranya umber hukum bisnis yang utama/pokok
adalah Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yaitu :
“1)
Asas kontrak (perjanjian) itu sendiri yang menjadi sumber hukum utama, dimana
masing-masing pihak terikat untuk tunduk kepada kontrak yang telah disepakati
(kontrak yg dibuat diberlakukan sama dengan Undang-undang); 2) Asas kebebasan
berkontrak, dimana para pihak bebas untuk membuat dan menentukan isi dari
kontrak yang mereka sepakati.”
Secara
umum sumber hukum bisnis (sumber hukum perundangan) tersebut adalah Hukum
Perdata (KUH Perdata), Hukum Dagang (KUH Dagang), Hukum Publik (Pidana Ekonomi /
KUH Pidana), Peraturan Perundang-undangan diluar KUH Perdata, KUH Pidana, dan KUH Dagang. Hukum dimanapun tidak akan
berpengaruh efektif bagi para pelaku pelanggaran bisnis, apalagi sebagaimana
yang kita ketahui, Indonesia bukan negara yang tegas dengan hukum. Dimana ada
uang, hukum bisa diperjual-belikan. Selain itu, tindakan hukum baru bisa
diterapkan jika ada pelanggaran. Karena itu, hukum merupakan sanksi, bukan
antisipasi terhadap pelanggaran.
Sejarah Pancasila dan Esensinya
Dalam
sidang pertama BPUPKI yang dibicarakan khusus mengenai dasar negara untuk
Indonesia merdeka nanti. Pada sidang pertama tersebut 2 (dua) Tokoh membahas
dan mengusulkan dasar negara yaitu Muhammad Yamin dan Ir. Soekarno. Muhammad
Yamin mengajukan usul mengenai calon dasar negara secara lisan yang terdiri
atas lima hal, yaitu peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ketuhanan, peri
kerakyatan dan kesejahteraan rakyat. Selain secara lisan M. Yamin juga mengajukan
usul secara tertulis yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Persatuan Indonesia, Rasa
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan dan Keadilan Sosial bagi
Seluruh Rakyat Indonesia.
Ir.
Soekarno mengajukan usul mengenai calon dasar negara yaitu Nasional-isme
(Kebangsaan Indonesia), Internasionalisme (Perikemanusiaan), Mufakat atau
Demokrasi, Kesejahteraan Sosial dan Ketuhanan yang Berkebudayaan. Kelima hal
ini oleh Bung Karno diberi nama PANCASILA.
Untuk
pengesahan Preambul, terjadi proses yang sangat panjang, sehingga sebelum
mengesahkan Preambul, Drs. Muhammad Hatta terlebih dahulu mengemukakan bahwa
pada tanggal 17 Agustus 1945 sore hari, sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan,
ada utusan dari Indonesia bagian Timur yang menemuinya. Intinya, rakyat
Indonesia bagian Timur mengusulkan agar pada alinea keempat preambul, di
belakang kata KETUHANAN yang berbunyi 'dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya' dihapus. Jika tidak maka rakyat Indonesia bagian
Timur lebih baik memisahkan diri dari negara RI yang baru saja diproklamasikan.
Usul
ini oleh Muh. Hatta disampaikan kepada sidang pleno PPKI, khususnya kepada para
anggota tokoh-tokoh Islam, antara lain kepada Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wakhid
Hasyim dan Teuku Muh. Hasan. Bung Hatta berusaha meyakinkan tokoh-tokoh Islam,
demi persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena pendekatan yang terus-menerus
dan demi persatuan dan kesatuan, mengingat Indonesia baru saja merdeka,
akhirnya tokoh-tokoh Islam itu merelakan dicoretnya 'dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya' di belakang kata Ketuhanan
dan diganti dengan 'Yang Maha Esa'. Dan untuk dapat melaksanakan Pancasila
sebagai ideologi dan dasar negara sekaligus sebagai pandangan hidup seluruh
Rakyat Indonesia, maka Pancasila diterjemahkan dalam butir - butir Pancasila.
Ketuhanan Yang Maha Esa yang
dijabarkan dalam poin-poin 1) bangsa indonesia menyatakan kepercayaannya dan
ketaqwaannya terhadap tuhan yang maha esa; 2) manusia indonesia percaya dan
taqwa terhadap tuhan yang maha esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya
masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab; 3) mengembangkan
sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut
kepercayaan yang berbeda-beda terhadap tuhan yang maha esa; 4) membina
kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap tuhan
yang maha esa; 5) agama dan kepercayaan terhadap tuhan yang maha esa adalah
masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan tuhan yang maha esa; 6)
mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai
dengan agama dan kepercayaannya masing-masing; 7) tidak memaksakan suatu agama
dan kepercayaan terhadap tuhan yang maha esa kepada orang lain.
Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
dijabarkan dalam poin-poin 1) mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan
harkat dan martabatnya sebagai makhluk tuhan yang maha esa; 2) mengakui
persamaan derajad, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa
membeda-bedakan suku, keturrunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan
sosial, warna kulit dan sebagainya; 3) mengembangkan sikap saling mencintai
sesama manusia; 4) mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira; 5)
mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain; 6) menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan; 7) gemar melakukan kegiatan kemanusiaan; 7) berani
membela kebenaran dan keadilan; 8) bangsa indonesia merasa dirinya sebagai bagian
dari seluruh umat manusia; 9) mengembangkan sikap hormat menghormati dan
bekerjasama dengan bangsa lain.
Persatuan Indonesia
dijabarkan dalam poin-poin 1) mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta
kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di
atas kepentingan pribadi dan golongan; 2) sanggup dan rela berkorban untuk
kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan; 3) mengembangkan rasa cinta
kepada tanah air dan bangsa; 4) mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan
bertanah air indonesia; 5) memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial; 6) mengembangkan persatuan
indonesia atas dasar bhinneka tunggal ika; 7) memajukan pergaulan demi
persatuan dan kesatuan bangsa.
Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah
Kebijaksanaan Dalam Permusya-waratan/ Perwakilan
dijabarkan dalam poin-poin 1) sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap
manusia indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama; 2) tidak boleh
memaksakan kehendak kepada orang lain; 3) mengutamakan musyawarah dalam
mengambil keputusan untuk kepentingan bersama; 4) musyawarah untuk mencapai
mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan; 5) menghormati dan menjunjung
tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah; 6) dengan
i’tikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan
musyawarah; 7) di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan
pribadi dan golongan; 8) musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai
dengan hati nurani yang luhur; 9) keputusan yang diambil harus dapat
dipertanggungjawabkan secara moral kepada tuhan yang maha esa, menjunjung
tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan
mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama; 10) memberikan
kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan
pemusyawaratan.
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia dijabarkan dalam poin-poin 1) mengembangkan perbuatan
yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan
kegotongroyongan; 2) mengembangkan sikap adil terhadap sesame; 3) menjaga
keseimbangan antara hak dan kewajiban; 4) menghormati hak orang lain; 5) suka
memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri; 6) tidak
menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang
lain; 7) tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan
gaya hidup mewah; 8) tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau
merugikan kepentingan umum; 9) suka bekerja keras; 10) suka menghargai hasil
karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama; 11) suka
melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan
sosial.
Lunturnya Nilai-Nilai Pancasila dalam
Bisnis
Teori
ekonomi saat ini didasarkan pada keperilakuan manusia sebagai homo economicus, yakni manusia sebagai
binatang berakal yang mencari kepuasan konsumtif sebesar-besarnya untuk
kepentingannya sendiri tanpa perduli dengan orang lain. Model homo economicus inlah yang kemudian diturunkan
menjadi model pasar persaingan sempurna (Nataatmadja 1984). Model tersebut
bertentangan dengan kenyataan manusia yang secara fitrah memiliki motivasi kreatif
dalam setiap diri, motivasi untuk mendayagunakan dirinya untuk menjadi manusia
yang bermanfaat bagi yang lainnya (Nataatmadja1983) sehingga yang terjadi demi
memenuhi kebutuhan konsumtif dan keinginannya, tak jarang manusia
mengesampingkan kepentingan bersama untuk kepentingan pribadi serta melakukan
apapun untuk memenuhi kebutuhannya tersebut.
Pelanggaran-pelanggaran
dalam etika bisnis seperti korupsi, penggelapan uang, pengurangan pajak yang
berlebihan, pencucian uang dan lain-lain yang dilakukan dalam rangka mencari
keuntungan sebanyak-banyaknya lalu menghalalkan segala cara, merupakan bukti
bahwa individu-individu ini mengalami krisis moral dan nilai. Ia tidak sadar
bahwa segala sesuatu ada yang mengawasi, yaitu Tuhan.
Segala cara dilakukan
yang bertentangan dengan kode etik dan aturan hukum yang berlaku, bahkan tidak
jarang ikut merugikan pihak lain demi bisnisnya, seperti penggusuran lahan
untuk membangun gedung tanpa menyediakan alternatif tempat tinggal yang layak
bagi warga.
Pengembalian Nilai-Nilai Pancasila
Dalam Beretika
Mengimplementasikan pendidikan
karakter berbasis pancasila dilembaga pendidikan.
Karena selama ini mata pelajaran yang mengajarkan tentang pendidikan moral dan
nilai-nilai luhur bangsa hanya pada sebatas tingkat pendidikan SD. Namun ketika
di SMP dan SMA, tidak ada mata pelajaran mengenai etika. Memang saat ini isu
tentang pendidikan karakter menjadi perhatian pemerintah dan tenaga pendidik
melihat banyaknya penyimpangan moral yang dilakukan, oleh karena itu, ini
merupakan peluang jika pendidikan karakter menjadi mata pelajaran atau mata
kuliah wajib, sebaiknya turut serta memasukkan nilai pancasila agar kita
senantiasa ingat dan memelihara nilai-nilai bangsa kita.
Pendidikan karakter diperlukan tidak hanya
dalam bentuk pendidikan formal seperti yang kita lalui ketika masa sekolah.
Ketika pada zaman sekolah diajari tentang bagaimana membina hubungan dan
komunikasi yang baik antar individu dan bersifat universal, pendidikan
karakter yang dimaksud disini adalah
pendidikan yang memberi pleatihan khusus kepada karyawan.
Gambar
1 Kerangka Berpikir
Keberadaan teks-teks ini adalah langkah
pertama untuk mewujudkan pembebasan diri dari etika imperialisme. Langkah
berikutnya adalah untuk menginternalisasikan Pancasila itu sehingga tidak akan
menjadi retorika belaka. Cara untuk melakukan ini adalah melalui pendidikan
(Ludigdo dan Kamayanti 2012). Hal ini dapat diatasi dengan terjaga kesadaran
pusat kekuasaan pusat dengan kelas menengah yang mendirikan kesadaran kelas dan
wacana publik antara retorika politik dengan tindakan nyata (Asshiddiqie 2011).
Pendidikan Pancasila tidak cukup hanya dengan
tulisan atau mata kuliah tertentu, tetapi internalisasi dibutuhkan dan menjadi
nyata melalui akulturasi. Menurut Samani (2011: 73), akulturasi Pancasila dapat
dilakukan melalui contoh senior atau dosen, konsisten dan karena mereka mendoktrin
nilai-nilai Pancasila ke dalam kesadaran siswa.
Nilai-nilai
dalam pancasila, jika kita urutkan dari yang pertama sampai yang terakhir
adalah urutan prioritas ketika kita ingin mengimplementasikannya. Oleh karena
itu, Ketuhanan yang Maha Esa menurut sila pertama adalah hal yang paling
didahulukan. Ketuhanan erat kaitannya dengan nilai-nilai kepercayaan,
keyakinan, spiritualitas dan tingkat religiusitas. Jika nilai-nilai sila
pertama diturunkan dalam berbisnis, maka definisi ilmu ekonomi pun juga ikut
berubah.
Gambar
2 Urutan Prioritas Implementasi Pancasila
Ilmu
ekonomi adalah ilmu yang mempelajari bagaimana mengaktualisasikan fitrahnya
sesuai dengan ajaran agama, khususnya dalam pendayagunaan sumber-daya yang
langka dan memiliki berbagai alternatif pendayagunaan, dengan tujuan agar
manusia dapat mengambil hikmah dan manfaat yang sebesar-besarnya demi kepentingan
kehidupan umat tanpa melupakan kewajiban untuk menjaga kelestarian sumberdaya
yang ada (Nataamadja 1984).
Selain
itu Utuhan lima sila Pancasila adalah bentuk kesatuan sifat kedirian manusia
Indonesia (sila kedua), kemasyarakatan (keempat) dan nilai Ketuhanannya (sila
pertama) yang terekat dalam persatuan (sila ketiga), (Mulawarman 2013) artinya
pancasila merupakan satu kesatuan yang sudah seharusnya diimplementasikan
secara simultan. Karena bagaimana jadinya bersikap adil tanpa diniatkan untuk
mencari ridha Tuhan (nilai sila pertama), bagaimana jadinya beribadah dan taat
dalam beragama namun tidak bermanfaat bagi sesama (sila ke dua, mengenai
kemanusiaan dan menjalin hubungan sosial yang baik antar sesama), bagaimana
mungkin bersikap adil namun tetap mementingkan golongan-golongannya (bertentangan
dengan sila ke tiga, yaitu persatuan Indonesia).
Berdasar pada holisme Pancasila pula, ketika kita mendeteksi
akuntansi sebagai bagian dari ekonomi yang merujuk pada UUD 1945, maka Pasal 33
UUD 1945 tidak dapat dibaca hanya sebagai salah satu penggalan kepentingan
ekonomi masyarakat Indonesia. Kemakmuran ekonomi masyarakat bukan hanya
perwujudan pasal 33 UUD 1945. Pasal 33 hanyalah salah satu bagian dari seluruh kehendak
rakyat Indonesia yang holistik yaitu menginginkan kesejahteraan sosial, ekonomi,
politik, budaya, lahir dan batin, serta mewujudkan harkat martabat manusia berke-Tuhan-an
(Mulawarman 2013). Artinya ketika kita ingin menerapkan pancasila dalam etika
bisnis, upaya yang dilakukan tidak hanya dari salah satu sisi, misalnya hanya
menekankan pada perusahaan yang berkaitan yang harus menerapkan etika, padahal
seperti yang kita ketahui, perusahaan tetap terikat dengan stakeholder baik
yang internal, maupun eksternal.
Karena itu, pemerintah sebagai pembuat regulasi
bekerjasama dengan masyarakat (yang menjadi stakeholder perusahaan) dalam
membuat aturan-aturan yang berlandaskan pancasila dan mengatur mekanisme
bagaimana hubungan baik antar stakeholder perusahaan, bagaimana pemerintah
menampung aspirasi masyarakat agar tercipta kesejahteraan dan keadilan. Hal ini bentuk wujud penerapan sila keempat,
yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan.
Etika Bisnis dan Profesi Akuntan
Berbicara tentang etika bisnis, maka tak lepas dari
permasalahan moral dan nilai oleh para pelaku pelanggaran etika dalam
berbisnis. Para pelaku yang terlibat merupakan stakeholder internal dan
eksternal. Dalam hal ini, akuntan yang berprofesi sebagai auditor mempunyai
peran penting dalam menentukan kejujuran suatu perusahaan. "Penipuan
terbesar dalam keuangan dunia selalu menghasilkan neraca diaudit oleh
perusahaan akuntan yang terkenal," Chamber (2005). Seperti telah
dijelaskan sebelumnya, dalam banyak skandal yang muncul, akuntan telah
memainkan peran utama (Ludigdo dan Kamayanti 2012).
Maka dari itu, merupakan hal yang penting untuk
melakukan studi kasus pada nilai-nilai etika seorang akuntan, karena melihat
fenomena yang terjadi pada pelanggaran etika yang terjadi pada perusahaan,
banyak yang disebabkan oleh ketidak jujuran akuntan dalam mengaudit laporan
keuangan.
Dasar dari akuntansi merupakan cerminan dari kondisi masyarakat
suatu wilayah. Jika masyarakat memiliki budaya yang bercorak dengan unsur kapitalisme,
maka dengan sendirinya akuntansi akan bersifat kapitalisme pula. Hal ini digambarkan
dalam Harahap (2013:384) pada gambar 3.
Penggambaran
konsep akuntansi oleh Harahap tersebut mengasumsikan bahwa adanya pemikiran
hubungan searah antara kondisi dalam masyarakat dengan penerapannya dalam
bidang akuntansi (Sitorus dan Triyuwono 2015). Tampaknya hal ini tidak berlaku
bagi kondisi akuntansi di Indonesia.Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia
memiliki sebuah ideology yang disebut dengan Pancasila, jauh dari nilai-nilai kapitalisme
(Mubyarto, 1987:, Gunadi, 1995:). Anehnya, pada tingkat sistem ekonomi dan
khususnya dalam dunia akuntansi sendiri corak kapitalisme sangat kental, baik
dalam tingkat teori maupun tingkat praktis.Kamayanti (2012) dalam dalam
percakapan dialogis dengan mahasiswa juga mengatakan bahwa akuntansi saat ini
sudah jauh dari nilai-nilai etis bangsa Indonesia.
Gambar
3 Proses Tejadinya Praktek Akuntansi Kapitalis
Sumber:
Harahap (2013)
Tujuan akuntansi yang semula ditujukan bagi kemakmuran
rakyat perlahan-lahan bergeser menjadi alat pemuas kebutuhan penjajah dan
perusahaan. Nilai tersebut kemudian dibawa pada saat Indonesia merdeka dan
berlaku hingga saat ini (Triyuwono: 2015)
Mulawarman (2012) menyebutkan bahwa Pendidikan
Pancasila tidak boleh hanya bersifat normatif yang tertumpu pada moralitas di
Mata kuliah Pancasila, namun perlu dikemas dalam sebuah konsep dan turunan
aplikatif untuk kepentingan nasional, kemandirian dan kekuatan pendukung ekonomi
kerakyatan semisal akuntansi keIndonesiaan. Hal tersebut diperlukan agar bangsa
Indonesia tidak hanya menjadi follower atas standar-standar yang didominasi
Barat termasuk dalam etika profesi akuntan, sehingga dominasi maskulinitas dalam
pendidikan akuntansi bisa difeminimkan dengan menginternalisasi nilainilai yang
terkandung dalam Pancasila (Setiawan dan Kamayanti 2012).
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) telah membentuk kode
etik akuntan. Yang sangat menarik adalah kode-kode etik akuntan Indonesia masing-masing
diadopsi dari kode etik American Ikatan Akuntan Publik (AICPA) dan
International Federation of Accountants (IFAC). Kode etik akuntan, dengan
demikian, dapat dilihat sebagai kekayaan budaya yang berasal dari nilai-nilai
budaya asal. Di bawah institusionalisme, penerapan etika Barat sebagai hasil
dari keterlibatan Indonesia dalam IFAC, dapat dianggap sebagai isomorfisme
koersif, akibat berlakunya kekuasaan badan-badan profesional untuk mencapai
standarisasi (Powell dan DiMaggio 1991. Di bawah perspektif kritis, ada etika
imperialisme karena adopsi kode etik IFAC. Internalisasi nilai-nilai luhur
Indonesia dalam kode etik akuntan dapat membantu mengatasi skandal akuntansi di
Indonesia (Ludigdo dan Kamayanti 2012).
Adapun kode etik akuntan Indonesia, lima prinsip
Pancasila belum jelas seperti yang dijelaskan oleh Ludigdo (2012) yaitu:
prinsip kebertuhanan tidak dapat ditemukan dalam etika yang diadopsi dari
sekuler bahkan ateis Barat. Prinsip kedua kemanusiaan telah tertanam dalam
etika akuntan sebagaimana ditetapkan dalam prinsip kedua akuntan kode etik ayat
6. Namun dalam perspektif Pancasila, manusia harus muncul dari kesadaran
kebertuhanan yang sama untuk mencapai masyarakat yang beradab. Masyarakat
beradab ini bukan jenis yang hanya kekhawatiran dengan maksimalisasi
keuntungan. Prinsip ketiga persatuan belum jelas dalam kode akuntan Indonesia
etik karena tampaknya bahwa profesi ini lebih peduli dengan penerimaan
akuntansi dalam lingkup global bahkan jika biaya kepentingan nasional. Prinsip
keempat adalah juga belum jelas karena setiap keputusan profesi idealnya tidak
harus diatur oleh pasar atau badan otoritatif hegemonik. Prinsip kelima
keadilan sosial belum firmy menegaskan dalam kode etik akuntan. keadilan sosial
berarti kontradiksi mutlak untuk kapitalisme. Berdasarkan argumen ini, sangat
penting untuk melihat kembali nilai sebenarnya dari Indonesia untuk membangun
kode etik akuntan.
Merealisasikan
Etika Profesi Berparadigma Pancasila menurut Ludigdo (2012) yaitu :
“Pertama. Profesi
akuntan harus menyadari bahwa pendidikan akuntansi seharusnya dikembangkan
sebagai bagian dari proses pendidikan nasional yang mempromosikan penguatan
karakter bangsa, sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (Pasal 1).
Kedua. Pendidikan
akuntansi seharusnya memberi ruang yang memadai untuk menempatkan Pancasila
sebagai filosofi dasar pengembangan pendidikan akuntansi dan sekaligus sebagai
dasar dalam pengembangan karakter akuntan Indonesia. Untuk ini berbagai kajian
akademik, khususnya yang menyangkut materi pembelajaran mata kuliah yang harus
bermuatan nilai-nilai dan norma berperilaku, perlu secara intensif
dilakukan.(Ludigdo: 2012)
Ketiga. Akuntan
pendidik/akademisi seharusnya mengembangkan sikap kritis dalam mengadopsi
pemikiran bisnis dan akuntansi, khususnya yang tertuang dalam berbagai
literatur bisnis dan akuntansi.
Keempat.
Bersama-sama dengan komponen bangsa yang lain, profesi akuntan harus aktif
melakukan revitalisasi keberadaan Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa
Indonesia.
Kelima. Profesi
akuntan harus meyakinkan diri bahwa situasi ekonomi dan politik yang terjadi
saat ini bukanlah cerminan dari karakter dan budaya bangsa yang berkembang
berdasarkan Pancasila.
Keenam. Organisasi
profesi akuntan Indonesia (IAI, IAPI dan lain-lain) seharusnya berani melakukan
rekonstruksi kode etik profesi yang dimuati dengan nilai-nilai Pancasila.
Ketujuh. Dalam
kerangka infusi spirit ketuhanan dan kesetiaan kepada Pancasila, profesi akuntan
perlu mempertimbangkan untuk mengharuskan adanya sumpah profesi kepada para
akuntan.”
Dalam menjalankan profesinya, seorang akuntan harus
mengikuti kode etik sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota dalam
pemenuhan tanggung jawab profesionalnya. Tujuan profesi akuntansi adalah
memenuhi tanggung jawabnya dengan standar profesionalisme tinggi, mencapai tingkat
kinerja yang tinggi, dengan orientasi kepada kepentingan publik. Setiap profesi
yang menyediakan jasanya kepada masyarakat memerlukan kepercayaan dari masyarakat
yang dilayaninya.
KESIMPULAN
Pancasila hanyalah sebuah falsafah atau sekumpulan
nilai yang bersifat normatif karena tidak melahirkan sistem atau seperangkat
aturan apapun. Sebagai buktinya, sampai hari ini tidak ada seorang ilmuwan, pakar
atau cendekiawan di negeri ini yang mampu merumuskan, misalnya, bagaimana wujud
sistem ekonomi Pancasila; bagaimana wujud sistem politik Pancasila; bagaimana
wujud sistem hukum Pancasila; atau bagaimana wujud sistem sosial dan sistem
pendidikan Pancasila? (Sirajuddin 2013).
Perlunya sebuah langkah yang
bersifat operasional dan sistemik untuk mulai mewarnai kehidupan berbangsa ini
dengan sesuatu yang secara inherent sudah ada dan mendominasi dalam kehidupan
di masyarakat Indonesia. Ia bisa dengan memunculkan dan merevitalisasi
nilai-nilai pancasila dalam etika bisnis dan profesi sebagai bagian dari pengembangan
sebuah etika profesi akuntan Indonesia yang tidak hanya membatasi pada prinsip-prinsip
yang terdapat di dalam Kode Etik Profesi Akuntan yang dikeluarkan oleh IAI atau
Kode Etik Profesi Akuntan Publik yang dikeluarkan oleh IAPI.
Berdasarkan pemaparan ini, maka kita
sebagai anak bangsa sudah seharusnya menyadari dan turut membangun sistem
ekonomi, sosial, politik dan pendidikan berdasarkan nilai-nilai panacasila.
Menjalankan sistemnya secara terintegrasi dapat mengurangi tingkat kriminal
akibat krisis moral dan nilai-nilai pada masyarakat. Aspek spiritual, sosial,
ekonomi, dan lingkungan tergambar jelas dalam kelima sila. Sebagaimana keempat
aspek yang tidak mungkin terpisahkan satu sama lain demikian juga
pertanggungjawaban perusahaan berdasarkan Pancasila tidak bisa hanya memandang
satu atau dua sila saja. Masing-masing sila memiliki unsur-unsur yang saling terkait
dan tidak dapat dipisahkan. Hal ini tentu saja berbeda dengan unsur
maskulinitas dalam definisi akuntansi yang berbasis pada kapitalisme
sebagaimana yang telah digambarkan oleh penulis bahwa laba dan kapitalisasi modal
masih menjadi fokus utama dalam pembuatannya (Sitorus dan Triyuwono 2012).
Jika Individu sepenuhnya sadar mengenai nilai-nilai
pancasila dan sudah mengakar kuat menjadi karakter dirinya, maka
pelanggaran-pelanggaran tidak akan terjadi. Hal ini tidak hanya dalam kehidupan
berbisnis, namun kehidupan dan lingkungannya secara menyeluruh. Orientasi
bisnis tidak semata-mata untuk mencari keuntungan yang bersifat materialistis,
namun juga bertujuan untuk menyejahterakan dan membantu bagi sesama, juga
mencari ridha Tuhan yang Maha Esa.
Daftar
Pustaka
Ahira, Anne. 2016. Kasus-kasus Etika Bisnis di Indonesia. Dilihat online http://www.anneahira.-com/kasus-kasus-etika-bisnis-indonesia.htm
pada April 2016
Bertens, K. 2000. Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Farhan, Junaidi. 2011. Sejarah Lahirnya Pancasila sebagai Ideologi & Dasar Negara.
Gunadi, T. (1995). Ekonomi dan Sistem Ekonomi Menurut Pancasila dan UUD 1945 (Vol. 1).
Bandung: Angkasa.
Harahap, S. S. (2013). Teori Akuntansi (13 ed.). Jakarta: Rajawali Pers.
Kamayanti, A. (2012). Cinta: Tindakan Berkesadaran Akuntan (Pendekatan
Dialogis Dalam Pendidikan Akuntansi). Simposium Nasional Akuntansi 15.
Banjarmasin.
Ludigdo, U. (2012). Memaknai Etika Profesi Akuntansi Indonesia Dengan Pancasila. Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Brawijaya. Malang.
Ludigdo, Unti and Ari Kamayanti. 2012. Pancasila as Accountant Ethics Imperialism
Liberator. World Journal of Social Sciences Vol. 2. No. 6. September 2012
Issue. Pp. 159 – 168
Margins-Suseno, Franz. 1987. Etika Dasar, Masalah-masalah Pokok Filsafat
Moral. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Menuju Citra Ekonomi Agamawi. PLP2M.
Jogjakarta.
Mubyarto. (1987). Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan. Jakarta: LP3ES.
Mulawarman, A.D. 2012. Menggugat Pendidikan Akuntansi Indonesia: Pro Neoliberal atau
Pancasila? Makalah pada Konferensi Nasional Pendidikan Akuntansi Indonesia,
IAI dan JAFEB UB, Malang, 18-20 April.
Mulawarman, AD. 2013. Nyayian Metodologi Akuntansi al Nataatmadja: Melampaui Derridian
Mengembangkan Pemikiran Bangsa “Sendiri”. Jurnal Akuntansi Multiparadigma,
Vol 4 No 1.
Nataatmadja, H. 1983. Membangun Ilmu Pengetahuan Berlandaskan Ideologi. Penerbit Iqra.
Bandung.
Nataatmadja, H. 1984. Pemikiran Ke Arah Ekonomi Humanistik: Suatu Pengantar
Nataatmadja, H. 1994. Krisis Manusia Modern. Penerbit Al Ikhlas Surabaya.
Sirajudin. 2013. Interpretasi Pancasila dan Islam Untuk Etika Profesi Akuntan Indonesia.
Jurnal Akuntansi Multiparadigma JAMAL Vol. 4 No. 3 Halaman 330-507 Malang
Sitorus , Jordan Hotman Ekklesia dan Iwan
Triyuwono. 2015. Dekonstruksi Definisi
Akuntansi Dalam Perspektif Pancasila. Jurnal Akuntansi Multiparadigma
Universitas Brawijaya: Malang.
Velasquez, Manuel G. 2002. Business Ethics, Concept and Cases
diterjemahkan Ana Purwaningsi at.al., Etika Bisnis : Konsep dan Kasus.
Yogyakarta : Penerbit Andi.