Welcome to My blog

"Bila kamu tak tahan lelahnya belajar, maka kamu akan menanggung perihnya kebodohan.(Imam Syafi’i)"

Rabu, 27 Agustus 2014

I’m a Lucky Girl

I am a lucky girl. Entah itu ungkapan rasa syukur atau merasa keberuntungan selalu menyertai diri ini. Yang jelas, tidak ada maksud untuk sombong. Aku merasa beruntung dalam beberapa hal, diantaranya aku dianugerahi keluarga yang penuh keakraban dan kasih sayang, juga lingkungan yang baik. Teman-temanku peduli kepadaku, dan aku mempunyai seorang adik perempuan yang bisa diajak bercerita, bergurau, bahkan berkelahi. Tapi kali ini, bukan keberuntungan seperti itu yang akan ku ceritakan. Kejadian-kejadian yang ku alami ketika dibangku kuliah, khususnya soal nilai menjadi salah satu “cerita keberuntungan” yang membuatku tertawa sendiri ketika mengingatnya.

Pada awal semester, grafik IPK ku baik-baik saja. Kuliah berjalan lancar, tugas selalu dikumpulkan dan jika ujian selalu mengusahakan yang terbaik, walaupun terkadang ada masanya aku lalai dan jenuh. Sampai pada semester 5, aku mengambil mata kuliah pilihan (MKP) Analisis Penggunaan Laporan Keuangan (APLK). Kuliah berjalan lancar seperti biasa, tugas rutin tiap minggu dan presentasi.

Kini ujian akhir semester tengah berlangsung. Karena semester atas, rata-rata jadwal ujian jam 12.30. Ujian APLK pada hari Rabu. Aku menyempatkan diri ke kost-an teman untuk belajar bersama pada pukul 09.00. Sampai pada jam 11.30 aku berangkat ke kampus bersama temanku, kebetulan kostnya tidak jauh dari kampus. Sampai di kampus, “Udah selesai ujian?” sapa teman ku yang lewat.

“Belum, nanti kan jam 12.30?” sahutku.

“Lho, ujian apa emangnya?”

“APLK”

“Aku juga APLK. Ini baru keluar”

“Siapa dosennya?”

“Ibu S***”

“Hah?” Aku dan temanku segera berlari ke kelas. Waktu ujian sisa 10 menit. Kami sempat dimarahi pengawas karena lalai. Kami mengerjakan dengan terburu-buru. Soalnya tidak banyak, hanya dua soal. Namun butuh waktu untuk menganalisis laporan keuangan tersebut. Soal itu harus dikerjakan dalam 10 menit, tanpa tambahan waktu.

“Waktu habis,” pengawas mengingatkan.

Habislah sudah, aku bingung dan cemas. NIlai apa yang akan keluar nanti. Aku dan temanku segera menghadap dosen yang bersangkutan. Siapa tau beliau memberi keringanan.

“Bu, mohon maaf kami lalai. Kami tidak teliti baca jadwal ujian. Kami kira jam 12.30 seperti biasa. Jadi tadi hanya ngerjakan 10 menit.”

“Tapi bisa?” tanya dosenku.

“Bisa, dan tidak selesai,” jawabku lemah.

“Gampanglah itu.”

Selang beberapa minggu, bukan bulan sabit, domba atau elang yang tertera disana. Alhamdulillah. . Aku bernafas lega. Aku lolos kali ini.
 ***

Lain halnya dengan mata kuliah Akuntansi Keuangan Lanjutan (AKL) 1. Saat ini ujian akhir semester tengah berlangsung. Berkali-kali ku kerjakan soal-soal latihan sampai mau muntah rasanya.

Bravo, soal ujian yang keluar hampir sama dengan soal yang ku kerjakan tadi pagi. Aku bersorak dalam hati. Namun, ada beberapa hal yang membuatku merasa ganjil dengan soal ini. Aku mulai cemas. Laba rugi, sampai pada neraca, tidak seimbang. Oleng, walaupun tidak terlalu jauh selisihnya. Aku ingat, soal ini benar-benar sama persis dengan soal latihan. Yang berbeda hanya penjualan Downstream, diubah jadi Upstream. Angka tidak satupun berubah. Kenapa?? Sampai sekarang ini masih menjadi misteri bagiku.

Aku tak lagi memikirkan hal itu jika saja teman-teman tak heboh membicarakan nilai AKL1 yang baru saja keluar. Rata-rata mendapat “Cicak Cicak di Dinding” alias C,D,C,D. Aku juga bernasib sama. Karena banyak yang ingin klarifikasi, aku ikut-ikutan.

Tiba diruang dosen yang bersangkutan, aku melihat beberapa orang temanku bicara dengan dosen tersebut. Aku agak speechless, karena dosen bersikeras tak mau mengubah nilai dan menyatakan tak ada yang salah dengan penilaiannya. Temanku pergi dengan agak kecewa. Dosen itu terlanjur melihatku, dan bertanya “ada perlu apa?”

‘Ah, kepalang tanggung,’ pikirku.

“Mohon maaf, Pak. Mengenai nilai AKL1, boleh saya lihat kesalahan saya dilembar jawaban? Karena jujur saya merasa cukup yakin dengan jawaban saya, untuk UTS maupun UAS,” jawabku agak tergagap.

“Ini berkas UAS, silahkan cari lembar jawaban kamu. Jika kamu bawa soal, silahkan kita koreksi bersama dan cocokkan, apakah jawaban ini benar atau tidak. Sekarang kamu fotokopi lembar jawaban kamu.”

Aku mengangguk, sekaligus bingung. Nilaiku memang 50 disana dan aku mendapat nilai C. Aku keluar dari ruangan dosen tersebut sambil memegang lembar jawabanku. Terus setelah difotokopi, apakah harus ku kerjakan lagi soal ini? Males banget. Ya sudahlah, ku kembalikan saja nanti, pikirku. Temanku menunggu didepan ruang dan mengajakku ke toilet.

Setelah itu, aku kembali lagi ke ruang dosen untuk mengembalikan lembar jawaban tersebut.

“Bagaimana? Sudah diperiksa?” tanya dosen tersebut sambil mengambil lembar jawaban itu. Ia mengambil pulpen dan mengubah nilaiku menjadi “70”. Kejadian itu begitu cepat, padahal aku belum sempat menjawab.

Beberapa hari kemudian, ku lihat di sistem. Nilai ku berubah menjadi “B”. Aku lolos lagi kali ini. Alhamdulillah. . .
***

Aku menangis didepan kamar 227 Hotel G Pontianak. Teman-temanku sedang dilantai dasar, makan malam. Saat itu aku sedang mengikuti pelatihan dari Kementerian Perindustrian selama 10 hari dan wajib menginap di tempat pelatihan. Dan hari ini, tadi pagi jam 08.00 tepatnya, telah dilaksanakan UAS AKL2.

Sebernarnya surat ijin sudah ku kirim ke masing-masing dosen, bahwa aku tidak bisa mengikuti kuliah selama 10 hari. Salah satu dari dosen itu, khususnya mata kuliah AKL2 tidak bisa memberi toleransi. Lebih gawat lagi, ketika aku pelatihan, UAS pun dilaksanakan lebih awal. Tidak mengikuti jadwal akademik.

Sahabatku menelpon dan mengatakan dosen itu tidak akan memberikan ujian susulan dalam bentuk apapun. Tanpa sadar aku mulai menangis. Sahabatku mencoba menghibur dan menyarankan agar aku bertemu langsung dengan dosen tersebut, siapa tau beliau berbaik hati. Aku menenangkan diri, tapi tetap saja merasa frustasi.

Habis sudah segala pengorbanan selama ini. Sekalipun tak pernah bolos, sekalipun tak pernah keluar karena tidak bawa buku, sekalipun tak pernah absen ini dicoret karena terlambat. Ini semester 6. Jika nilai UAS ku “0”, maka kemungkinan besar D. Mau tidak mau harus mengulang di semester 8. Kapan mau lulus? Salah satu impianku, lulus cepat. Dengan kondisi sekarang, apakah mungkin? Hanya 1 mata kuliah ini, aku harus bayar uang kuliah untuk 1 semester lagi? Karena pelatihan 10 hari, akibatnya fatal. Aku harus menambah masa kuliah 6 bulan?
Aku menangis tersedu sedu.

3 hari kemudian, aku bertemu dengan dosen AKL2. Beliau sempat menjadi dosen idolaku, karena kedisiplinannya, caranya mengajar yang menyenangkan dan mudah dimengerti untuk mata kuliah “sulit” ini. Namun, banyak juga mahasiswa terutama senior yang bilang ini “dosen killer”. Saat ini, aku rasa mereka benar.

Aku mencoba memberi penjelasan, namun belum selesai aku bicara. . .

“Saya tidak terima ujian susulan dalam bentuk apapun. . . . (dosen itu sempat menceramahiku dan memotong penjelasanku).”

Air mataku mulai merebak, ya ampuuun, cengeng banget sih? Aku berusaha sekuat mungkin, menerima.

“Bu, tolonglah . .” hanya itu yang sanggup aku katakan. Para mahasiswa yang sedang ujian mungkin memperhatikan ku, tapi aku tak peduli. Dosen itu memang sedang mengawasi proses ujian.

“Terserah kamu mau bilang ke Kajur, ke Dekan atau Rektor. Saya tetap dengan keputusan saya. Tidak ada ujian susulan. Sekarang silahkan pulang,”

Aku disuruh pulang. Aku menangis tersedu-sedu. Dasar cengeng, padahal aku malu sekali jika orang melihatku menangis. Aku menangis di depan taman kampus, bersandar dipundak temanku.

“Maaf ya Am, aku ga bisa bilang apa-apa untuk menghiburmu,” temanku berkata sambil menyerahkan tisu.

“Ga apa-apa kok,” jawabku sambil mengelap ingus. Aku tau dia memang orang yang agak pendiam.

“Kamu ada disini saja aku sudah sangat bersyukur. Terima kasih, kawan,” lanjutku.
Baiklah, perjuangan ini mungkin akan ku ulang tahun depan. Aku ikhlas.

“Bagaimana dengan UAS mu? Bisa susulan?” banyak yang bertanya demikian. Aku jawab, “doakan saja dapat C,” jawabku santai. Karena rasanya tidak mungkin dapat A atau B tanpa ikut UAS yang punya porsi nilai 40% dari keseluruhan.

“Jelek banget sih doanya?” sahut temanku. Aku hanya tersenyum, ya mau bagaimana lagi.
Aku teringat, beberapa mata kuliah sebelumnya aku lolos. Allah memudahkanku, apakah aku diberi kemudahan lagi kali ini? Atau aku sedang diuji? Kali ini rasanya sulit. Kesalahanku sangat fatal.

Benarkan demikian?

Setiap perkataan adalah doa. Aku benar-benar dapat C. Meski agak memalukan, namun jujur baru kali ini aku bersorak kegirangan. Gembira dengan nilai C. Aku merasa takjub. Allah Maha Baik

“Gimana? Dapat C? Tuhkan, coba kalau doa tuh minta dapat A atau B,” goda temanku.

“Hehehe. . .”
***

Allah Maha Baik. Memberiku kemudahan sampai saat ini dan mudah-mudahan sampai kuliah ini benar-benar selesai. Aamiin.

Beberapa hari yang lalu, aku melihat berkas nilai mahasiswa. Ayahku seorang dosen.

“Abah ngasi nilai A B A B. Malah banyak A nya,” celetuk ku.

“Iya. Memberi kemudahan ke mahasiswa. Ntar kalau abah kasi nilai C D C D, takut karma ke anak-anak abah. Mempersulit orang lain, kita juga akan dipersulit,” sahut abah.

Hatiku terenyuh. Mungkin inilah salah satu alasan mengapa aku sering dimudahkan. Selain karena usaha, juga ada doa dan ridho orangtua disana.

Selasa, 19 Agustus 2014

Di Balik Sang Merah Putih



Lihatlah disana, sungguh gagah ia berkibar
Tiang-tiang tinggi berdiri tegak demi menopangnya
Ribuan pasang mata menyaksikan
Terkadang peduli, terkadang tidak
Ah, itu hanyalah sebuah simbol negara
Itu hanyalah sebuah pelengkap di gedung-gedung tertentu
Taukah, Di balik Sang Merah Putih
Sejarah panjang perjuangan bercerita
Di balik Sang Merah Putih
Membuka mata, mana kawan mana pengkhianat
Di balik Sang Merah Putih
Tangisan bahkan darah tumpah
Di balik Sang Merah Putih
Berbeda-beda menjadi satu
Bangsa Indonesia
Sang Merah Putih itu
Tetap diam tak menuntut apapun
Di balik Sang Merah Putih
Jiwa bangsa terpatri

Semangat Pemuda, Semangat Pejuang



Writer: Amanah Hijriah

Pada tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00 tepat 69 tahun yang lalu, Indonesia telah merdeka. Ir. Soekarno membacakan teks proklamasi dilanjutkan dengan pidato dan pengibaran bendera merah putih.  Merdeka! Segala jerih payah dan pengorbanan pejuang yang rela bersimbah darah bahkan nyawa dikorbankan. Semangat itu, tak pernah padam. Masih ingatkah peristiwa sekitar kemerdekaan? Para pejuang rela tidak tidur demi memerdekakan bangsa ini.
 


Bagaimana dengan semangat pemuda sekarang? Jangankan untuk membela bangsa sampai mati, bahkan memerdekakan diri dari kebodohan pun barangkali enggan. Padahal kita sangat sadar bahwa penjajahan di Indonesia sekarang dalam bentuk berbeda. Mulai dari produk kebutuhan sehari-hari. Hitunglah berapa banyak produk yang digunakan benar-benar asli “made in Indonesia”. Dari segi bahasa, seberapa seringkah kita menggunakan bahasa Indonesia? Dan dari segi budaya, seberapa jauh kita mengenal budaya baik budaya lokal maupun nasional?

Kawan, masih hapalkah kalian nama-nama pejuang yang mati-matian kalian hapalkan ketika duduk dibangku sekolah dulu? Masih hapalkah kalian sejarah dan peristiwa penting yang mengiringi kemerdekaan ini? Tanyakan pada diri, apa bentuk penghargaan yang sudah dilakukan untuk bangsa ini? Perjuangan apa yang paling sederhana yang sudah dilakukan?

Kawan, perjuangan memang tak harus angkat senjata. Beranikah kita membangun sesuatu yang besar untuk negeri ini? Mampukah kita mengubah negara ini menjadi lebih baik? Mampukah kita “berdiri diatas kaki sendiri”?
 

Kamis, 22 Mei 2014

Menghayati Hari Pendidikan Nasional

Writer: Amanah Hijriah

Pada tanggal 2 Mei lalu, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional. Tanggal tersebut merupakan tanggal lahir Raden Mas Soewardi Soeryaningrat atau yang kita kenal dengan Ki Hajar Dewantara. Beliau lahir di Yogyakarta, pada 02 Mei 1889. Ki Hajar Dewantara dikenal karena jasa-jasanya dalam dunia pendidikan, yaitu mendirikan Taman Siswa pada tanggal 03 Juli 1922. Taman Siswa merupakan sekolah untuk kaum rakyat jelata. Sistem pendidikan yang beliau gunakan saat itu adalah Tut Wuri Handayani artinya mendorong dari belakang. Sampai saat ini istilah Tut Wuri Handayani dijadikan sebagai semboyan pendidikan di Indonesia.

Beberapa tokoh lainnya yang berperan dalam pendidikan diantaranya adalah; 1) KH Achmad Dahlan yaitu pendiri Muhammadiyah yang kemudian mendirikan sekolah dengan basis Islam pertama kali di Indonesia, 2) RA Kartini yang memperjuangkan hak pendidikan bagi kaum wanita, dan lain-lain. Pada masa itu, sekolah merupakan hal yang sulit bagi bangsa Indonesia. Berbagai cara dilakukan untuk memperjuangkan pendidikan.

 Namun berbeda dengan kondisi sekarang. Pendidikan tidak lagi menjadi hal yang sulit untuk sebagian besar penduduk Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah agar proses pendidikan di Indonesia dapat dinikmati oleh seluruh penduduknya. Fasilitas berupa biaya pendidikan gratis, buku-buku yang disalurkan tiap tahun untuk sekolah-sekolah dan dana bantuan untuk pembangunan sekolah telah diupayakan oleh pemerintah. Bahkan untuk setiap tahunnya di APBD telah dianggarkan bahwa alokasi untuk pendidikan sebesar 20%.

Ditengah kemudahan dan fasilitas yang diberikan pada saat ini, masih saja ada anak Indonesia yang belum menghargai dan menyianyiakan proses pendidikannya. Contohnya ketika ujian, melakukan kecurangan seperti menyontek dianggap hal yang biasa bagi sebagian pelajar Indonesia. Hal ini sangat memprihatinkan. Padahal ujian pada umumnya dianggap sebagai bahan evaluasi hasil proses belajar mereka. Jika pada saat ujian saja mereka telah terbiasa dengan melakukan kecurangan, tak heran apabila Indonesia menjadi Negara terkorup.

 Contoh lainnya ketika membolos, berkelahi dan lebih memilih bersenang-senang dengan bermain game daripada bersusah-susah untuk belajar. Kebiasaan buruk ini dianggap suatu hal yang biasa. Orangtua bahkan terlalu memaklumi jika anak-anak mereka bermain game dalam jangka waktu yang lama.

Filosofis pendidikan menurut Bapak Pendidikan, Ki Hajar Dewantara yaitu “pendidikan untuk memerdekakan manusia”. Seorang guru besar sekaligus imam juga pernah mengatakan bahwa, “Bila kamu tak tahan lelahnya belajar, maka kamu akan menanggung perihnya kebodohan”. Dan sabda Nabi yaitu, “Tuntutlah ilmu sejak dari buaian sampai liang lahat”. Artinya, dalam proses pendidikan hendaknya lebih memilih bersabar dalam lelahnya belajar daripada harus menanggung kebodohan dikemudian hari dan proses pembelajaran tidak mengenal batasan usia. Dengan  pendidikan, kita merdeka dari belenggu kebodohan.

Hari pendidikan nasional hendaklah menjadi momentum bagi kita, bagi anak-anak bangsa agar introspeksi terhadap diri masing-masing dan melihat lebih jauh tentang kualitas SDM saat ini, yang merupakan indikator dari keberhasilan pendidikan di Indonesia. Selain itu, mencintai ilmu dan proses belajar hendaknya ditanamkan sejak dini agar belajar bukan hanya untuk mendapatkan nilai atau gelar, tetapi lebih kepada manfaat dan kebutuhan bagi diri sendiri, oranglain, serta bangsa dan negara. 

Jadi, sudahkan kita menghargai jasa para pahlawan yang memperjuangkan hak untuk memperoleh pendidikan? Sudahkah kita bersyukur dengan berbagai kemudahan dan fasilitas saat ini? Sudahkah kita mencintai ilmu dan proses belajar hari ini?

MAHASISWA DI BULAN MEI

Oleh : Amanah Hijriah

 

TRAGEDI TRISAKTI
Krisis finansial atau yang dikenal dengan krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997-1998. Pada tanggal 12 Mei 1998, mahasiswa Trisakti mengadakan aksi demonstrasi menuntut pengunduran diri Presiden Suharto yang merupakan presiden kedua Indonesia dan telah berkuasa selama 32 tahun.
Beberapa hal yang menjadi penyebab tuntutan massa pada saat itu antara lain mengenai; 1) kebijakan yang tidak lagi sesuai dengan Pancasila dan UU, 2) kesenjangan sosial dan pembangunan antar daerah, terutama kesenjangan pembangunan antara pulau Jawa (khususnya Jakarta) dengan daerah-daerah provinsi lain, 3) sistem pemerintahan yang bersifat otoriter, 4) sepanjang pemerintahan tersebut, dianggap rezim terkorup sepanjang sejarah yaitu US$15-35 milyar, 5) krisis moneter pada tahun 1997-1998.
Aksi demonstrasi pada tanggal 12 Mei 1998 berlangsung secara besar-besaran. Awalnya Mahasiswa melakukan aksi damai ke Gedung Nusantara, namun diblokade oleh pihak aparat. Mahasiswa lalu melakukan negosiasi dengan pihak aparat tersebut dan menjelang sore mahasiswa bergerak mundur.
Beberapa saat kemudian pihak aparat maju dan mengeluarkan senjata diantaranya senapan serbu (SS-1), Styer, gas air mata, kendaraan bermotor, gas air mata dan lengkap dengan tameng.
Mahasiswa panik dan berlari berhamburan. Sebagian besar dari mereka bersembunyi ke Kampus Trisakti. Namun sebagian yang lain menjadi korban dari penembakan dan penyerangan dari pihak aparat. Mahasiswa yang tertangkap dipukul dan ditendang ditempat, lalu dibiarkan tergeletak ditengah jalan. Mahasiswi juga tak lepas menjadi korban pelecehan seksual.
Puncaknya empat orang mahasiswa menjadi korban aksi penembakan dari pihak aparat tersebut, diantaranya yaitu  Elang Mulia Lesmana (1978 - 1998), Heri Hertanto (1977 - 1998), Hafidin Royan (1976 - 1998), dan Hendriawan Sie (1975 - 1998). Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, tenggorokan, dan dada.


21 Mei 1998
Tragedi Trisakti tersebut memicu terjadinya kerusuhan dan kemarahan warga, khususnya didaerah Ibukota dan beberapa daerah lainnya. Tragedi tersebut juga memicu mahasiswa seluruh daerah untuk lebih solidaritas dan menguatkan tuntutan terhadap mundurnya Presiden Suharto dari jabatannya.
Ribuan mahasiswa dari berbagai daerah seluruh Indonesia bersatu melakukan demonstrasi secara serentak. Mahasiswa menyampaikan orasinya. Keberanian dan semangat mahasiswa pada saat itu membawa perubahan hingga pada tanggal 21 Mei 1998, presiden Suharto resmi melepaskan jabatannya sebagai presiden.





Kondisi Mahasiswa Sekarang
Apakah semangat mahasiswa masih terpatri dalam jiwa ini? Masih adakah rasa peduli mahasiswa terhadap lingkungan sosial mereka? Apakah ada sebagian dari kita yang lebih memilih tutup mata, tutup telinga, bersikap apatis terhadap lingkungan sosial yang terjadi saat ini? Apakah sebagian dari kita lebih memilih jalan-jalan di mall, menghabiskan uang beasiswa atau bermain game? Kemanakah mahasiswa yang disebut sebagai social control, agen of change dan iron stock ?
Mahasiswa disebut sebagai social control dalam masyarakat, itu artinya mahasiswa mempunyai peranan penting dalam melakukan kontrol dan stabilitas kondisi masyarakat. Selain itu, mahasiswa juga disebut sebagai agen perubahan. Perubahan tidak harus dalam bentuk demonstrasi atau sampai ke hal anarkis, namun lakukan perubahan dengan hal-hal yang kreatif. Maksimalkan kontribusi terhadap lingkungan kampus, diri sendiri dan masyarakat melalui ide-ide kreatif, karya-karya dan kegiatan pencerdasan. Mahasiswa adalah generasi pengubah, bukan generasi penerus. Mahasiswa yang mempunyai kualitas yang terbaik, akan menjadi calon pemimpin bangsa ini di masa depan (iron stock).
Memang keadaan sekarang tidak bisa disamakan dengan era 1998. Namun alangkah lebih baik jika mahasiswa bersikap lebih peduli. Selain cerdas di kampus dalam hal intelektual, mahasiswa dituntut untuk cerdas dan kritis dalam lingkungan sosial masyarakat. Karena pada akhirnya kelak mahasiswa akan menjadi bagian dari masyarakat.
Jika pun harus ada hal yang harus diperjuangkan, tumbuhkan rasa peduli dan solidaritas dalam membela. Jika suatu saat peristiwa tahun 1998 kembali terjadi, jangan ragu untuk memperjuangkan hak-hak dan melakukan perubahan. Hidup mahasiswa!