Welcome to My blog

"Bila kamu tak tahan lelahnya belajar, maka kamu akan menanggung perihnya kebodohan.(Imam Syafi’i)"

Kamis, 22 Mei 2014

Menghayati Hari Pendidikan Nasional

Writer: Amanah Hijriah

Pada tanggal 2 Mei lalu, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional. Tanggal tersebut merupakan tanggal lahir Raden Mas Soewardi Soeryaningrat atau yang kita kenal dengan Ki Hajar Dewantara. Beliau lahir di Yogyakarta, pada 02 Mei 1889. Ki Hajar Dewantara dikenal karena jasa-jasanya dalam dunia pendidikan, yaitu mendirikan Taman Siswa pada tanggal 03 Juli 1922. Taman Siswa merupakan sekolah untuk kaum rakyat jelata. Sistem pendidikan yang beliau gunakan saat itu adalah Tut Wuri Handayani artinya mendorong dari belakang. Sampai saat ini istilah Tut Wuri Handayani dijadikan sebagai semboyan pendidikan di Indonesia.

Beberapa tokoh lainnya yang berperan dalam pendidikan diantaranya adalah; 1) KH Achmad Dahlan yaitu pendiri Muhammadiyah yang kemudian mendirikan sekolah dengan basis Islam pertama kali di Indonesia, 2) RA Kartini yang memperjuangkan hak pendidikan bagi kaum wanita, dan lain-lain. Pada masa itu, sekolah merupakan hal yang sulit bagi bangsa Indonesia. Berbagai cara dilakukan untuk memperjuangkan pendidikan.

 Namun berbeda dengan kondisi sekarang. Pendidikan tidak lagi menjadi hal yang sulit untuk sebagian besar penduduk Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah agar proses pendidikan di Indonesia dapat dinikmati oleh seluruh penduduknya. Fasilitas berupa biaya pendidikan gratis, buku-buku yang disalurkan tiap tahun untuk sekolah-sekolah dan dana bantuan untuk pembangunan sekolah telah diupayakan oleh pemerintah. Bahkan untuk setiap tahunnya di APBD telah dianggarkan bahwa alokasi untuk pendidikan sebesar 20%.

Ditengah kemudahan dan fasilitas yang diberikan pada saat ini, masih saja ada anak Indonesia yang belum menghargai dan menyianyiakan proses pendidikannya. Contohnya ketika ujian, melakukan kecurangan seperti menyontek dianggap hal yang biasa bagi sebagian pelajar Indonesia. Hal ini sangat memprihatinkan. Padahal ujian pada umumnya dianggap sebagai bahan evaluasi hasil proses belajar mereka. Jika pada saat ujian saja mereka telah terbiasa dengan melakukan kecurangan, tak heran apabila Indonesia menjadi Negara terkorup.

 Contoh lainnya ketika membolos, berkelahi dan lebih memilih bersenang-senang dengan bermain game daripada bersusah-susah untuk belajar. Kebiasaan buruk ini dianggap suatu hal yang biasa. Orangtua bahkan terlalu memaklumi jika anak-anak mereka bermain game dalam jangka waktu yang lama.

Filosofis pendidikan menurut Bapak Pendidikan, Ki Hajar Dewantara yaitu “pendidikan untuk memerdekakan manusia”. Seorang guru besar sekaligus imam juga pernah mengatakan bahwa, “Bila kamu tak tahan lelahnya belajar, maka kamu akan menanggung perihnya kebodohan”. Dan sabda Nabi yaitu, “Tuntutlah ilmu sejak dari buaian sampai liang lahat”. Artinya, dalam proses pendidikan hendaknya lebih memilih bersabar dalam lelahnya belajar daripada harus menanggung kebodohan dikemudian hari dan proses pembelajaran tidak mengenal batasan usia. Dengan  pendidikan, kita merdeka dari belenggu kebodohan.

Hari pendidikan nasional hendaklah menjadi momentum bagi kita, bagi anak-anak bangsa agar introspeksi terhadap diri masing-masing dan melihat lebih jauh tentang kualitas SDM saat ini, yang merupakan indikator dari keberhasilan pendidikan di Indonesia. Selain itu, mencintai ilmu dan proses belajar hendaknya ditanamkan sejak dini agar belajar bukan hanya untuk mendapatkan nilai atau gelar, tetapi lebih kepada manfaat dan kebutuhan bagi diri sendiri, oranglain, serta bangsa dan negara. 

Jadi, sudahkan kita menghargai jasa para pahlawan yang memperjuangkan hak untuk memperoleh pendidikan? Sudahkah kita bersyukur dengan berbagai kemudahan dan fasilitas saat ini? Sudahkah kita mencintai ilmu dan proses belajar hari ini?

MAHASISWA DI BULAN MEI

Oleh : Amanah Hijriah

 

TRAGEDI TRISAKTI
Krisis finansial atau yang dikenal dengan krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997-1998. Pada tanggal 12 Mei 1998, mahasiswa Trisakti mengadakan aksi demonstrasi menuntut pengunduran diri Presiden Suharto yang merupakan presiden kedua Indonesia dan telah berkuasa selama 32 tahun.
Beberapa hal yang menjadi penyebab tuntutan massa pada saat itu antara lain mengenai; 1) kebijakan yang tidak lagi sesuai dengan Pancasila dan UU, 2) kesenjangan sosial dan pembangunan antar daerah, terutama kesenjangan pembangunan antara pulau Jawa (khususnya Jakarta) dengan daerah-daerah provinsi lain, 3) sistem pemerintahan yang bersifat otoriter, 4) sepanjang pemerintahan tersebut, dianggap rezim terkorup sepanjang sejarah yaitu US$15-35 milyar, 5) krisis moneter pada tahun 1997-1998.
Aksi demonstrasi pada tanggal 12 Mei 1998 berlangsung secara besar-besaran. Awalnya Mahasiswa melakukan aksi damai ke Gedung Nusantara, namun diblokade oleh pihak aparat. Mahasiswa lalu melakukan negosiasi dengan pihak aparat tersebut dan menjelang sore mahasiswa bergerak mundur.
Beberapa saat kemudian pihak aparat maju dan mengeluarkan senjata diantaranya senapan serbu (SS-1), Styer, gas air mata, kendaraan bermotor, gas air mata dan lengkap dengan tameng.
Mahasiswa panik dan berlari berhamburan. Sebagian besar dari mereka bersembunyi ke Kampus Trisakti. Namun sebagian yang lain menjadi korban dari penembakan dan penyerangan dari pihak aparat. Mahasiswa yang tertangkap dipukul dan ditendang ditempat, lalu dibiarkan tergeletak ditengah jalan. Mahasiswi juga tak lepas menjadi korban pelecehan seksual.
Puncaknya empat orang mahasiswa menjadi korban aksi penembakan dari pihak aparat tersebut, diantaranya yaitu  Elang Mulia Lesmana (1978 - 1998), Heri Hertanto (1977 - 1998), Hafidin Royan (1976 - 1998), dan Hendriawan Sie (1975 - 1998). Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, tenggorokan, dan dada.


21 Mei 1998
Tragedi Trisakti tersebut memicu terjadinya kerusuhan dan kemarahan warga, khususnya didaerah Ibukota dan beberapa daerah lainnya. Tragedi tersebut juga memicu mahasiswa seluruh daerah untuk lebih solidaritas dan menguatkan tuntutan terhadap mundurnya Presiden Suharto dari jabatannya.
Ribuan mahasiswa dari berbagai daerah seluruh Indonesia bersatu melakukan demonstrasi secara serentak. Mahasiswa menyampaikan orasinya. Keberanian dan semangat mahasiswa pada saat itu membawa perubahan hingga pada tanggal 21 Mei 1998, presiden Suharto resmi melepaskan jabatannya sebagai presiden.





Kondisi Mahasiswa Sekarang
Apakah semangat mahasiswa masih terpatri dalam jiwa ini? Masih adakah rasa peduli mahasiswa terhadap lingkungan sosial mereka? Apakah ada sebagian dari kita yang lebih memilih tutup mata, tutup telinga, bersikap apatis terhadap lingkungan sosial yang terjadi saat ini? Apakah sebagian dari kita lebih memilih jalan-jalan di mall, menghabiskan uang beasiswa atau bermain game? Kemanakah mahasiswa yang disebut sebagai social control, agen of change dan iron stock ?
Mahasiswa disebut sebagai social control dalam masyarakat, itu artinya mahasiswa mempunyai peranan penting dalam melakukan kontrol dan stabilitas kondisi masyarakat. Selain itu, mahasiswa juga disebut sebagai agen perubahan. Perubahan tidak harus dalam bentuk demonstrasi atau sampai ke hal anarkis, namun lakukan perubahan dengan hal-hal yang kreatif. Maksimalkan kontribusi terhadap lingkungan kampus, diri sendiri dan masyarakat melalui ide-ide kreatif, karya-karya dan kegiatan pencerdasan. Mahasiswa adalah generasi pengubah, bukan generasi penerus. Mahasiswa yang mempunyai kualitas yang terbaik, akan menjadi calon pemimpin bangsa ini di masa depan (iron stock).
Memang keadaan sekarang tidak bisa disamakan dengan era 1998. Namun alangkah lebih baik jika mahasiswa bersikap lebih peduli. Selain cerdas di kampus dalam hal intelektual, mahasiswa dituntut untuk cerdas dan kritis dalam lingkungan sosial masyarakat. Karena pada akhirnya kelak mahasiswa akan menjadi bagian dari masyarakat.
Jika pun harus ada hal yang harus diperjuangkan, tumbuhkan rasa peduli dan solidaritas dalam membela. Jika suatu saat peristiwa tahun 1998 kembali terjadi, jangan ragu untuk memperjuangkan hak-hak dan melakukan perubahan. Hidup mahasiswa!