Aidah membaca catatan itu berkali-kali
di buku hariannya, seraya melihat ke arah jam yang menunjukkan pukul 23.34
malam. Akhir-akhir ini ia rajin membuka buku harian dan menuliskan sesuatu.
Semua itu karena satu objek yang belakangan ini mengganggu pikirannya.
Cinta,
seperti apa itu?
Yang
ku tau hanya lukisan tentang cinta,
Oleh
goresan pena Khalil Gibran.
Atau
seperti Layla dan Majnun?
Bukankah
itu terlalu ekstrim
Tidak
seperti itu yang aku rasakan sekarang.
Atau
seperti Romeo dan Juliet
yang
dipentaskan banyak orang?
Tidak
juga, aku tidak ingin panggung drama itu benar-benar nyata dalam hidupku
Terlalu
menyedihkan & juga tragis.
Ken
Dedes dan Ken Arok?
Tidak,
jika cinta selalu seperti itu, berapa banyak orang yang terbunuh karena cinta?
Ku
rasa seperti Habibie dan Ainun
Bukankah
kisah mereka mengukirkan sejarah
Seperti
lirik sebait lagu yang barusan ku dengar
Mungkin
seperti itulah cinta.
Aku
hanya bisa menerka perasaan dalam diam
Mencoba
mendefinisikan cinta lewat kisah-kisah mereka yang sering diceritakan orang
Kisah
cinta seperti apa yang bisa membuatku mendefinisikan “cinta”?
02
Desember 2013
Menjelang
tengah malam
saat
bintang & bulan saling tersenyum.
Aidah bangun pagi-pagi sekali. Pukul
04.30 alarm berbunyi dan ia tetap disiplin seperti biasa walaupun tidur hampir
tengah malam. Bukan karena padatnya jalan Pontianak, bukan juga karena takut
terlambat dan dimarahi guru BP berkumis tebal. Alasannya kali ini berbeda.
Hanya karena ingin mengawasi sosok itu dari jauh. Memang tak sampai 5 menit
jalan dari gerbang sekolah menuju kelas ‘sosok yang diawasi’ Aidah itu, tapi
itu waktu yang sangat berharga bagi Aidah walaupun ia belum begitu mengerti
tentang cinta seperti teman-teman sekelasnya kebanyakan.
Aidah duduk di bangku depan kelasnya
sambil memegang buku pelajaran yang dijadikannya sebagai alasan. Beberapa menit
kemudian, sosok yang ditunggu muncul. Wajahnya sesekali menunduk, berjalan
dengan tegap, tenang dan tersenyum pada beberapa orang yang dikenalnya. Sosok
itu sampai ke kelas XII IPA 5 dan masuk.
Aidah yang melihat dari balik buku tanpa
sadar tersenyum dan tiba-tiba, “ngape tebalek tuh?” tanya Tias. Sahabatnya itu baru
datang, dengan wajah tak bersalah langsung ngeloyor masuk kelas. Aidah hanya
tersipu-sipu, menyadari kekonyolannya pagi ini. “Tiaaaas!” serunya dan langsung
menyusul Tias masuk ke kelas.
*Tebalek : terbalik
*Tebalek : terbalik
^^^
“Mana ya jilbab itu? Pasti dipinjam Aidah
nih,” gumam Bu Rani, mama Aidah. Bu Rani masuk ke kamar Aidah dan mencari
jilbabnya dilemari baju yang bersebelahan dengan meja belajar Aidah. Buku
harian itu terbuka dan tak sengaja Bu Rani membaca satu kalimat yang ditulis
besar-besar oleh anaknya dengan warna tinta yang agak menyolok dari pada yang lain.
“Kisah cinta seperti apa yang bisa membuatku mendefinisikan cinta?”
Bu Rani tersenyum, terdiam sebentar dan segera tersadar bahwa ia harus mencari jilbab yang mungkin ada dalam lemari Aidah.
^^^
“Assalamu’alaikum,” Aidah mengucapkan
salam depan pintu rumahnya. Bergegas ke dapur dan segera membuka tudung saji
diatas meja. Pulang sekolah setiap pukul 14.30 membuatnya lapar berat ketika
sampai dirumah.
“Wa’alaikumsalam. Eits, ganti baju dulu. Cuci tangan, baru makan” kata Bu Rani mengingatkan.
“Iya,
ma,” sahut Aidah patuh.
Beberapa saat setelah Aidah berganti pakaian dan mencuci tangan, ia segera mengambil makanan yang tersaji dan mulai makan. Bu Rani duduk menemani Aidah, sambil sesekali bertanya seputar aktivitas Aidah disekolah.
“Aidah, mama tidak sengaja melihat
catatan Aidah diatas meja ketika mama mau mencari jilbab didalam lemari. Mama sempat membaca kalimat yang intinya, kisah cinta seperti apa yang bisa
membuatku mendefinisikan cinta. Betul tidak?”
“Mama niih,” jerit Aidah sambil menutup wajahnya. Ia malu setengah mati.
‘Tadi ketauan Tias baca buku terbalik, sekarang ketauan
mama nulis-nulis tentang cinta. Malu nyaaaa’ jerit Aidah dalam hati.
“Hahaha, biasa saja. Wajar, anak mama sudah besar. Sekarangkan udah kelas XI,” Bu Rani tertawa melihat tingkah dan wajah anaknya yang tiba-tiba memerah seperti tomat.
“Tapi tetap aja malu, maa.”
“Mama ada cerita lain. Aidah pasti belum pernah mendengar cerita ini. Mau dengar?”
“Siapa? Apa tentang teman mama?”
“Dengarkan saja dulu.”
Aidah terdiam sebentar, “hmm, bolehlah,” sahutnya.
^^^
Malam itu malam hari raya Idul Fitri
tahun ke 1410 Hijriah bertepatan dengan hari Kamis, 26 April tahun 1990. Sudah
menjadi tradisi masyarakat Pontianak ditepi sungai Kapuas sejak berdirinya
Keraton Kadariyah, bahwa setiap malam menyambut hari Raya Idul Fitri diadakan
Festival Meriam Karbit. Ramai orang yang memenuhi geretak tepi sungai Kapuas untuk menyaksikan
acara itu, salah satunya Ara.
Ara gadis melayu asal Singkawang itu ke
Pontianak dalam rangka liburan ke rumah neneknya. Ia berjalan mengitari geretak
bersama sepupunya yang masih menginjak sekolah dasar. Ara begitu penasaran
seperti apa Festival Meriam Karbit. Saking asiknya menonton, Ara tidak sadar
kakinya semakin ke tepi & beberapa saat kemudian sudah bisa dipastikan, “byuuurr!”
“Toloong. . Humph. .” orang-orang kaget melihat seorang gadis yang tercebur ke sungai Kapuas. Yang lainnya banyak tidak mendengar jeritan Ara karena suara meriam yang berdentum-dentum.
Beberapa orang berusaha menyelamatkan. Tapi ada seorang pemuda membawa 2 ken kosong ukuran sedang ditangannya segera mencemplungkan diri tanpa pikir panjang.
“Ambil ini!” serunya.
Ara melihat wajah pemuda itu sekilas dan langsung meraih ken kosong, lalu berenang ke tepi. Setelah sampai ke tepi, pemuda itu mengambil kedua ken kosong itu dan bergegas pergi. Ara tak sanggup berkata-kata karena masih syok.
*Geretak : merupakan jalan yang terbuat dari kayu di sepanjang tepi sungai kapuas
^^^
Pagi ini Ara naik sampan hijau langganannya. Seperti biasa ia duduk ditengah.
“Masih muat, bang?” tanya seorang pemuda yang baru datang.
“Masih bang, pas 1 orang lagi,” jawab pengemudi sampan. Pemuda itu naik dan sampan mulai berjalan menyeberangi sungai. Ara tidak terlalu peduli. Pikirannya fokus pada presentasi mata kuliah pertama hari ini.
Pada hari-hari selanjutnya, pemuda itu selalu ikut naik sampan hijau dan semakin akrab dengan pengemudi sampan. Ara mulai peduli, sesekali melirik ke arah pemuda itu. Pemuda yang biasa dipanggil Faraz oleh pengemudi sampan itu ternyata juga sedang memperhatikannya. Ara salah tingkah.
Hari berikutnya, kejadian itu terus berulang. Tapi hari ini sedikit berbeda. Keduanya duduk paling ujung sampan karena bangku lain sudah terisi penuh.
“Maaf, sepertinya saya mengenal anda,” sapa pemuda itu tanpa basa basi.
“Hmmm?” kening Ara berkerut, keheranan.
“Kamu orang yang tercebur ketika malam raya itu, kan?” tanya pemuda itu dengan logat melayu yang agak kaku.
“Hah? Kamu masih ingat?” Ara menutup wajahnya, malu berat.
“Hahaha, masihlah. Kenalkan, nama saya Faraz.” Tetapi tidak mengulurkan tangan.
Pandangannya sesekali mengarah ke tepi sungai dan sedikit menunduk. Ara membuka wajahnya dan melihat pemuda itu, “Saya Ara.”
Pemuda itu menatap ke arahnya dan mereka sama-sama tersenyum. Tersipu malu.
Satu semester telah berlalu. Ara benci hari libur karena tidak bisa bertemu dengan Faraz. Naik sampan dan pergi kuliah, itulah satu-satunya alasan mereka bertemu. Biasanya mereka berpisah ketika sampai di Jalan Imam Bonjol, kemudian bertemu kembali pada keesokan harinya.
Tidak ada hal yang lebih jauh tentang kedekatan mereka. Hanya bercakap-cakap seputar kegiatan kampus, saling tukar pendapat mengenai sesuatu, bercakap tentang asal tempat tinggal masing-masing dan lain-lain. Belakangan Ara baru tau kalau Faraz kuliah di Untan Fakultas Hukum dan tiga angkatan diatas Ara. Faraz anak perantauan asal Jawa Barat. ‘Pantas saja logat melayu-nya agak kaku,’ gumam Ara pada saat itu.
Memasuki semester II, Ara bergegas ke dermaga. Naik sampan hijau seperti biasa sambil mencari-cari, kemana Faraz? Tidak seperti biasa, sudah sebulan sejak memasuki semester II, tapi belum sekalipun Ara bertemu Faraz.
“Cari siapa?” tanya abang pengemudi sampan.
“Tidak ada, bang.”
“Faraz ya? Oh iya, abang lupa dia ada nitip surat ke abang. Ckckck.. Nama adik Ara, kan?”
“Iya, bang,” sahut Ara sambil menerima surat itu.
Sesampai dirumah, Ara langsung masuk ke kamar dan membuka amplop surat itu.
“Assalamu’alaikum wr wb.
Apa kabar Ara? Semoga selalu dalam lindunganNya.
Mohon maaf sebelumnya karena jauh-jauh hari tidak memberi tahu perihal keberangkatan abang. Karena ketika abang mau nyampaikan kabar ini, udah keduluan libur kuliah. Mudah-mudahan surat ini cukup mewakili.
Abang langsung saja ya.
Awal Januari, abang diterima sebagai calon penerima beasiswa S2 ke luar negeri. Abang dapat berita itu ketika libur dan mau tidak mau harus segera berangkat ke Jakarta untuk tes wawancara. Alhamdulillah, abang lulus sebagai penerima beasiswa itu. Awal Februari abang udah mulai ke Jakarta untuk melengkapi segala keperluan administrasi dan kursus bahasa asing selama beberapa bulan. Setelah itu langsung melanjutkan S2 ketika masuk tahun ajaran baru di negara yang bersangkutan.
InsyaAllah tidak lama, hanya beberapa tahun. Kalau memang ditakdirkan untuk bertemu lagi, “jangan marah ya”. Abang rasa waktu beberapa tahun cukup untuk meredakan kekesalan dan berubah menjadi lebih, lebiiih baik lagi.
Terus belajar dan semangat.
O iya, IP pertamanya gimana?
Wassalamu’alaikum wr.wb
Pontianak, 29 Januari 1991
Faraz
Malam ini Ara duduk diberanda rumah, sambil menatap sedih ke sungai Kapuas dari jendela.
“Semangatmu, lebih dari cukup bagiku untuk terus belajar.”
Ara menutup buku hariannya dan tertidur diberanda.
Disela-sela waktu senggang ketika di kampus, Ara menuliskan beberapa hal dalam buku catatannya. ‘Demi mengurangi rasa kehilangan ini, setidaknya aku mempersiapkan diri saja untuk menjadi manusia yang lebih baik mulai dari hal yang kecil, menulis apa-apa yang akan dilakukan dan kapan itu harus terealisasi,’ pikirnya.
Nyaris tidak ada waktu senggang bagi Ara. Sejumlah kegiatan kampus terus diikutinya, tugas-tugas kuliah datang silih berganti, tak lupa ia mengikuti beberapa kompetisi walaupun sempat hampir menyerah karena gagal berkali-kali. Kadang ketika ia lelah dan merasa tak mampu, kembali ia buka catatan kecilnya dan surat dari Faraz. Ingin Ara menyusulnya, tapi bukan hanya karena Faraz, tapi tekadnya ingin terus belajar.
^^^
Malam Idul Fitri, 13 Maret 1994.
Empat tahun sejak pertemuan pertama itu. Ara berjalan menyusuri tepi sungai Kapuas. Seperti biasa, malam ini ada Festival Meriam Karbit. Kali ini Ara menemani sepupu kecilnya yang baru datang dari Sintang untuk menyaksikan tradisi itu. Tadi sore hujan, membuat papan kayu geretak itu lebih licin dari biasanya.
Karena ramai, Ara menerobos agak ke tepi geretak. Tapi sandal dan papan kayu itu tidak berdamai malam ini. Ara hampir saja tercebur seperti beberapa tahun lalu jika tidak ada seseorang yang menarik lengannya.
Ara sempat terkejut dan tangan itu segera melepaskannya.
“Bang Faraz?” tanya Ara pelan.
“Iya,” sahut Faraz sambil tersenyum.
“Kapan datang?”
“Baru tadi sore. Untunglah sempat buka puasa dirumah,” jawab Faraz. “Apa kabar, Ara?”
Ara mematung, bibirnya bergetar, wajahnya memerah. “Ara pikir kita tidak akan pernah bertemu lagi.”
“Apa abang terlalu lama? Kan abang bilang, jangan marah ya. Maaf,” kata Faraz dengan rasa bersalah.
Ara diam tak bergeming. Tanpa sadar air matanya mengalir.
“Lho, kok nangis? Malulah,” Faraz salah tingkah. Karena didepannya seorang gadis menangis ditengah keramaian. Orang-orang sekitar terlihat heran.
“Kak, kita pulang yuk. Nangis dirumah saja,” ajak sepupu Ara polos sambil menarik tangan Ara. Ara berjalan pulang sambil digandeng oleh sepupu kecilnya. Faraz mengikuti dari belakang sambil tetap menjaga jarak.
^^^
Tujuh hari berlalu setelah shalat Idul Fitri. Hari ke-tujuh ini Faraz berencana lebaran ke rumah nenek Ara untuk yang kedua kalinya.
Pesan Faraz beberapa hari sebelumnya, “Nanti abang mau silaturahmi yang kedua kalinya. Pastikan ada orangtua dirumah, jangan lebaran kemana-mana dulu. Kue jangan sampai habis sebelum hari raya ke tujuh ya.”
“Pesannya kok lucu? Iya, InsyaAllah,” jawab Ara.
Ara melihat dari jendela, ‘kok ramai?’. Ara heran melihat Faraz berpenampilan lebih rapi dari biasanya. Dan kali ini, Faraz tidak sendirian. Beberapa orang yang lebih tua tampak mengikuti sambil berbincang-bincang dengannya. Tak berapa lama kemudian, Ara sadar itu bukan silaturahmi biasa. Hatinya bergetar, mendadak merasa panas dingin disekujur tubuhnya.
^^^
“Terus?” tanya Aidah.“Tiga tahun setelah hari raya ketujuh itu, lahirlah seorang bayi cantik bernama Aidah. Itulah sejarah nama Aidah, yang artinya kembali berhari raya,” sahut Bu Rani sambil tersenyum.
“Hah?” Aidah tercengang.
Tak lama kemudian, “so sweet bangeeet,” Aidah masih terkesima. Tak menyangka sejarah namanya seperti itu. Ia kira hanya karena ia dilahirkan bertepatan dengan hari raya Idul Fitri.
“Tapi kenapa namanya disamarkan?” tanya Aidah lagi.
“Kan nama mama Rita Mah-ara-ni dan nama ayah Angga Fahraz-a Surya, “ jawab Bu Rani sambil terkekeh.
“Mama bisaaaa aja,” Aidah tertawa.
“Assalamu’alaikum,” seseorang memberi salam dan masuk ke rumah.
“Wa’alaikumsalam. Eh, Pak Faraz udah pulang,” kata Aidah sambil tertawa.
Ayah Aidah yang biasa dipanggil Pak Surya itu terlihat bingung. “Kok Pak Faraz? Tumben panggilannya beda?” tanyanya.
Bu Rani dan Aidah hanya tertawa.
^^^
Aku rasa melalui namaku saja sudah cukup menjelaskan dan bersejarah
Dengan kisah bersejarah itu,
Aku ada di dunia ini dan membuatku mengerti
Cinta itu adalah semangat dalam diri
Mengusahakan memberi yang terbaik
Mengajarkan tentang kesabaran dalam penantian
Dan tentunya tidak terlepas dari peranan Tuhan
Sang Maha Cinta yang mempertemukan mereka
04 Desember 2013
Aidah dimalam yang agak gerimis. ^_^