Welcome to My blog

"Bila kamu tak tahan lelahnya belajar, maka kamu akan menanggung perihnya kebodohan.(Imam Syafi’i)"

Selasa, 25 Maret 2014

Cinta, Ajarilah Aku Banyak Hal

Oleh : Amanah Hijriah


Aidah membaca catatan itu berkali-kali di buku hariannya, seraya melihat ke arah jam yang menunjukkan pukul 23.34 malam. Akhir-akhir ini ia rajin membuka buku harian dan menuliskan sesuatu. Semua itu karena satu objek yang belakangan ini mengganggu pikirannya.


Cinta, seperti apa itu?
Yang ku tau hanya lukisan tentang cinta,
Oleh goresan pena Khalil Gibran.
Atau seperti Layla dan Majnun?
Bukankah itu terlalu ekstrim
Tidak seperti itu yang aku rasakan sekarang.
Atau seperti Romeo dan Juliet
yang dipentaskan banyak orang?
Tidak juga, aku tidak ingin panggung drama itu benar-benar nyata dalam hidupku
Terlalu menyedihkan & juga tragis.
Ken Dedes dan Ken Arok?
Tidak, jika cinta selalu seperti itu, berapa banyak orang yang terbunuh karena cinta?
Ku rasa seperti Habibie dan Ainun
Bukankah kisah mereka mengukirkan sejarah
Seperti lirik sebait lagu yang barusan ku dengar
Mungkin seperti itulah cinta.
Aku hanya bisa menerka perasaan dalam diam
Mencoba mendefinisikan cinta lewat kisah-kisah mereka yang sering diceritakan orang

Kisah cinta seperti apa yang bisa membuatku mendefinisikan “cinta”?

                                                                       02 Desember 2013
                                                                      Menjelang tengah malam
                                                                      saat bintang & bulan saling tersenyum.





Aidah bangun pagi-pagi sekali. Pukul 04.30 alarm berbunyi dan ia tetap disiplin seperti biasa walaupun tidur hampir tengah malam. Bukan karena padatnya jalan Pontianak, bukan juga karena takut terlambat dan dimarahi guru BP berkumis tebal. Alasannya kali ini berbeda. Hanya karena ingin mengawasi sosok itu dari jauh. Memang tak sampai 5 menit jalan dari gerbang sekolah menuju kelas ‘sosok yang diawasi’ Aidah itu, tapi itu waktu yang sangat berharga bagi Aidah walaupun ia belum begitu mengerti tentang cinta seperti teman-teman sekelasnya kebanyakan.
Aidah duduk di bangku depan kelasnya sambil memegang buku pelajaran yang dijadikannya sebagai alasan. Beberapa menit kemudian, sosok yang ditunggu muncul. Wajahnya sesekali menunduk, berjalan dengan tegap, tenang dan tersenyum pada beberapa orang yang dikenalnya. Sosok itu sampai ke kelas XII IPA 5 dan masuk.
Aidah yang melihat dari balik buku tanpa sadar tersenyum dan tiba-tiba, “ngape tebalek tuh?” tanya Tias. Sahabatnya itu baru datang, dengan wajah tak bersalah langsung ngeloyor masuk kelas. Aidah hanya tersipu-sipu, menyadari kekonyolannya pagi ini. “Tiaaaas!” serunya dan langsung menyusul Tias masuk ke kelas. 

*Tebalek : terbalik
^^^
“Mana ya jilbab itu? Pasti dipinjam Aidah nih,” gumam Bu Rani, mama Aidah. Bu Rani masuk ke kamar Aidah dan mencari jilbabnya dilemari baju yang bersebelahan dengan meja belajar Aidah. Buku harian itu terbuka dan tak sengaja Bu Rani membaca satu kalimat yang ditulis besar-besar oleh anaknya dengan warna tinta yang agak menyolok dari pada yang lain.

“Kisah cinta seperti apa yang bisa membuatku mendefinisikan cinta?”

Bu Rani tersenyum, terdiam sebentar dan segera tersadar bahwa ia harus mencari jilbab yang mungkin ada dalam lemari Aidah.
^^^
“Assalamu’alaikum,” Aidah mengucapkan salam depan pintu rumahnya. Bergegas ke dapur dan segera membuka tudung saji diatas meja. Pulang sekolah setiap pukul 14.30 membuatnya lapar berat ketika sampai dirumah.

“Wa’alaikumsalam. Eits, ganti baju dulu. Cuci tangan, baru makan” kata Bu Rani mengingatkan.
“Iya, ma,” sahut Aidah patuh.

Beberapa saat setelah Aidah berganti pakaian dan mencuci tangan, ia segera mengambil makanan yang tersaji dan mulai makan. Bu Rani duduk menemani Aidah, sambil sesekali bertanya seputar aktivitas Aidah disekolah. 




“Aidah, mama tidak sengaja melihat catatan Aidah diatas meja ketika mama mau mencari jilbab didalam lemari. Mama sempat membaca kalimat yang intinya, kisah cinta seperti apa yang bisa membuatku mendefinisikan cinta. Betul tidak?”

“Mama niih,” jerit Aidah sambil menutup wajahnya. Ia malu setengah mati.
Tadi ketauan Tias baca buku terbalik, sekarang ketauan mama nulis-nulis tentang cinta. Malu nyaaaa’ jerit Aidah dalam hati.

“Hahaha, biasa saja. Wajar, anak mama sudah besar. Sekarangkan udah kelas XI,” Bu Rani tertawa melihat tingkah dan wajah anaknya yang tiba-tiba memerah seperti tomat.

Tapi tetap aja malu, maa.”

“Mama ada cerita lain. Aidah pasti belum pernah mendengar cerita ini. Mau dengar?”

“Siapa? Apa tentang teman mama?”

“Dengarkan saja dulu.”

Aidah terdiam sebentar, “hmm, bolehlah,” sahutnya.
^^^
Malam itu malam hari raya Idul Fitri tahun ke 1410 Hijriah bertepatan dengan hari Kamis, 26 April tahun 1990. Sudah menjadi tradisi masyarakat Pontianak ditepi sungai Kapuas sejak berdirinya Keraton Kadariyah, bahwa setiap malam menyambut hari Raya Idul Fitri diadakan Festival Meriam Karbit. Ramai orang yang memenuhi geretak tepi sungai Kapuas untuk menyaksikan acara itu, salah satunya Ara.
Ara gadis melayu asal Singkawang itu ke Pontianak dalam rangka liburan ke rumah neneknya. Ia berjalan mengitari geretak bersama sepupunya yang masih menginjak sekolah dasar. Ara begitu penasaran seperti apa Festival Meriam Karbit. Saking asiknya menonton, Ara tidak sadar kakinya semakin ke tepi & beberapa saat kemudian sudah bisa dipastikan, “byuuurr!”

“Toloong. . Humph. .” orang-orang kaget melihat seorang gadis yang tercebur ke sungai Kapuas. Yang lainnya banyak tidak mendengar jeritan Ara karena suara meriam yang berdentum-dentum.

Beberapa orang berusaha menyelamatkan. Tapi ada seorang pemuda membawa 2 ken kosong ukuran sedang ditangannya segera mencemplungkan diri tanpa pikir panjang.

“Ambil ini!” serunya.

Ara melihat wajah pemuda itu sekilas dan langsung meraih ken kosong, lalu berenang ke tepi. Setelah sampai ke tepi, pemuda itu mengambil kedua ken kosong itu dan bergegas pergi. Ara tak sanggup berkata-kata karena masih syok.
*Geretak : merupakan jalan yang terbuat dari kayu di sepanjang tepi sungai kapuas


^^^

Beberapa bulan setelah kejadian itu berlalu, Ara resmi diterima sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Tanjungpura. Karena rumah neneknya yang kebetulan ditepi sungai, Ara harus membiasakan diri menggunakan transportasi air khas Pontianak yaitu, sampan. Setiap hari berangkat kuliah menyeberangi sungai dengan sampan, mau tidak mau Ara belajar berenang. Ia tidak mau kejadian malam hari Raya itu kembali terulang ketika ia akan berangkat kuliah.
Pagi ini Ara naik sampan hijau langganannya. Seperti biasa ia duduk ditengah.
 

“Masih muat, bang?” tanya seorang pemuda yang baru datang.
 

“Masih bang, pas 1 orang lagi,” jawab pengemudi sampan. Pemuda itu naik dan sampan mulai berjalan menyeberangi sungai. Ara tidak terlalu peduli. Pikirannya fokus pada presentasi mata kuliah pertama hari ini.
 

Pada hari-hari selanjutnya, pemuda itu selalu ikut naik sampan hijau dan semakin akrab dengan pengemudi sampan. Ara mulai peduli, sesekali melirik ke arah pemuda itu. Pemuda yang biasa dipanggil Faraz oleh pengemudi sampan itu ternyata juga sedang memperhatikannya. Ara salah tingkah.
 

Hari berikutnya, kejadian itu terus berulang. Tapi hari ini sedikit berbeda. Keduanya duduk paling ujung sampan karena bangku lain sudah terisi penuh.
 

“Maaf, sepertinya saya mengenal anda,” sapa pemuda itu tanpa basa basi.
 

“Hmmm?” kening Ara berkerut, keheranan.
 

“Kamu orang yang tercebur ketika malam raya itu, kan?” tanya pemuda itu dengan logat melayu yang agak kaku.
 

“Hah? Kamu masih ingat?” Ara menutup wajahnya, malu berat.
 

“Hahaha, masihlah. Kenalkan, nama saya Faraz.” Tetapi tidak mengulurkan tangan. 
Pandangannya sesekali mengarah ke tepi sungai dan sedikit menunduk. Ara membuka wajahnya dan melihat pemuda itu, “Saya Ara.”
 

Pemuda itu menatap ke arahnya dan mereka sama-sama tersenyum. Tersipu malu.
 

Satu semester telah berlalu. Ara benci hari libur karena tidak bisa bertemu dengan Faraz. Naik sampan dan pergi kuliah, itulah satu-satunya alasan mereka bertemu. Biasanya mereka berpisah ketika sampai di Jalan Imam Bonjol, kemudian bertemu kembali pada keesokan harinya.
Tidak ada hal yang lebih jauh tentang kedekatan mereka. Hanya bercakap-cakap seputar kegiatan kampus, saling tukar pendapat mengenai sesuatu, bercakap tentang asal tempat tinggal masing-masing dan lain-lain. Belakangan Ara baru tau kalau Faraz kuliah di Untan Fakultas Hukum dan tiga angkatan diatas Ara. Faraz anak perantauan asal Jawa Barat. ‘Pantas saja logat melayu-nya agak kaku,’ gumam Ara pada saat itu.
 

Memasuki semester II, Ara bergegas ke dermaga. Naik sampan hijau seperti biasa sambil mencari-cari, kemana Faraz? Tidak seperti biasa, sudah sebulan sejak memasuki semester II, tapi belum sekalipun Ara bertemu Faraz.
 

“Cari siapa?” tanya abang pengemudi sampan.
 

“Tidak ada, bang.”
 

“Faraz ya? Oh iya, abang lupa dia ada nitip surat ke abang. Ckckck.. Nama adik Ara, kan?”
 

“Iya, bang,” sahut Ara sambil menerima surat itu.
 

Sesampai dirumah, Ara langsung masuk ke kamar dan membuka amplop surat itu.


 “Assalamu’alaikum wr wb.
Apa kabar Ara? Semoga selalu dalam lindunganNya.
Mohon maaf sebelumnya karena jauh-jauh hari tidak memberi tahu perihal keberangkatan abang. Karena ketika abang mau nyampaikan kabar ini, udah keduluan libur kuliah. Mudah-mudahan surat ini cukup mewakili.
Abang langsung saja ya.
Awal Januari, abang diterima sebagai calon penerima beasiswa S2 ke luar negeri. Abang dapat berita itu ketika libur dan mau tidak mau harus segera berangkat ke Jakarta untuk tes wawancara. Alhamdulillah, abang lulus sebagai penerima beasiswa itu. Awal Februari abang udah mulai ke Jakarta untuk melengkapi segala keperluan administrasi dan kursus bahasa asing selama beberapa bulan. Setelah itu langsung melanjutkan S2 ketika masuk tahun ajaran baru di negara yang bersangkutan.
InsyaAllah tidak lama, hanya beberapa tahun. Kalau memang ditakdirkan untuk bertemu lagi, “jangan marah ya”. Abang rasa waktu beberapa tahun cukup untuk meredakan kekesalan dan berubah menjadi lebih, lebiiih baik lagi.
Terus belajar dan semangat.
O iya, IP pertamanya gimana?
                                                                          Wassalamu’alaikum wr.wb


                                                                           Pontianak, 29 Januari 1991



                                                                           

                                                                            Faraz


Malam ini Ara duduk diberanda rumah, sambil menatap sedih ke sungai Kapuas dari jendela. 
“Semangatmu, lebih dari cukup bagiku untuk terus belajar.”
Ara menutup buku hariannya dan tertidur diberanda.




    Disela-sela waktu senggang ketika di kampus, Ara menuliskan beberapa hal dalam buku catatannya. ‘Demi mengurangi rasa kehilangan ini, setidaknya aku mempersiapkan diri saja untuk menjadi manusia yang lebih baik mulai dari hal yang kecil, menulis apa-apa yang akan dilakukan dan kapan itu harus terealisasi,’ pikirnya.

     Nyaris tidak ada waktu senggang bagi Ara. Sejumlah kegiatan kampus terus diikutinya, tugas-tugas kuliah datang silih berganti, tak lupa ia mengikuti beberapa kompetisi walaupun sempat hampir menyerah karena gagal berkali-kali. Kadang ketika ia lelah dan merasa tak mampu, kembali ia buka catatan kecilnya dan surat dari Faraz. Ingin Ara menyusulnya, tapi bukan hanya karena Faraz, tapi tekadnya ingin terus belajar.


^^^

Malam Idul Fitri, 13 Maret 1994.
Empat tahun sejak pertemuan pertama itu. Ara berjalan menyusuri tepi sungai Kapuas. Seperti biasa, malam ini ada Festival Meriam Karbit. Kali ini Ara menemani sepupu kecilnya yang baru datang dari Sintang untuk menyaksikan tradisi itu. Tadi sore hujan, membuat papan kayu geretak itu lebih licin dari biasanya.
Karena ramai, Ara menerobos agak ke tepi geretak. Tapi sandal dan papan kayu itu tidak berdamai malam ini. Ara hampir saja tercebur seperti beberapa tahun lalu jika tidak ada seseorang yang menarik lengannya.
Ara sempat terkejut dan tangan itu segera melepaskannya.
 

“Bang Faraz?” tanya Ara pelan.
 

“Iya,” sahut Faraz sambil tersenyum.
 

“Kapan datang?”
 

“Baru tadi sore.  Untunglah sempat buka puasa dirumah,” jawab Faraz. “Apa kabar, Ara?”
Ara mematung, bibirnya bergetar, wajahnya memerah. “Ara pikir kita tidak akan pernah bertemu lagi.”
 

“Apa abang terlalu lama? Kan abang bilang, jangan marah ya. Maaf,” kata Faraz dengan rasa bersalah.
 

Ara diam tak bergeming. Tanpa sadar air matanya mengalir.
 

“Lho, kok nangis? Malulah,” Faraz salah tingkah. Karena didepannya seorang gadis menangis ditengah keramaian. Orang-orang sekitar terlihat heran.
 

 “Kak, kita pulang yuk. Nangis dirumah saja,” ajak sepupu Ara polos sambil menarik tangan Ara. Ara berjalan pulang sambil digandeng oleh sepupu kecilnya. Faraz mengikuti dari belakang sambil tetap menjaga jarak.


^^^

Tujuh hari berlalu setelah shalat Idul Fitri. Hari ke-tujuh ini Faraz berencana lebaran ke rumah nenek Ara untuk yang kedua kalinya.
Pesan Faraz beberapa hari sebelumnya, “Nanti abang mau silaturahmi yang kedua kalinya. Pastikan ada orangtua dirumah, jangan lebaran kemana-mana dulu. Kue jangan sampai habis sebelum hari raya ke tujuh ya.”
 

“Pesannya kok lucu? Iya, InsyaAllah,” jawab Ara.

Ara melihat dari jendela, ‘kok ramai?’. Ara heran melihat Faraz berpenampilan lebih rapi dari biasanya. Dan kali ini, Faraz tidak sendirian.  Beberapa orang yang lebih tua tampak mengikuti sambil berbincang-bincang dengannya. Tak berapa lama kemudian, Ara sadar itu bukan silaturahmi biasa. Hatinya bergetar, mendadak merasa panas dingin disekujur tubuhnya.




^^^
 “Terus?” tanya Aidah.
 

“Tiga tahun setelah hari raya ketujuh itu, lahirlah seorang bayi cantik bernama Aidah. Itulah sejarah nama Aidah, yang artinya kembali berhari raya,” sahut Bu Rani sambil tersenyum.
 

“Hah?” Aidah tercengang.
Tak lama kemudian, “so sweet bangeeet,” Aidah masih terkesima. Tak menyangka sejarah namanya seperti itu. Ia kira hanya karena ia dilahirkan bertepatan dengan hari raya Idul Fitri.
 

“Tapi kenapa namanya disamarkan?” tanya Aidah lagi.
 

“Kan nama mama Rita Mah-ara-ni dan nama ayah Angga Fahraz-a Surya, “ jawab Bu Rani sambil terkekeh.
 

“Mama bisaaaa aja,” Aidah tertawa.
 

“Assalamu’alaikum,” seseorang memberi salam dan masuk ke rumah.
 

“Wa’alaikumsalam. Eh, Pak Faraz udah pulang,” kata Aidah sambil tertawa.
 

Ayah Aidah yang biasa dipanggil Pak Surya itu terlihat bingung. “Kok Pak Faraz? Tumben panggilannya beda?” tanyanya.
Bu Rani dan Aidah hanya tertawa.


^^^


Aku rasa melalui namaku saja sudah cukup menjelaskan dan bersejarah
Dengan kisah bersejarah itu,
Aku ada di dunia ini dan membuatku mengerti
Cinta itu adalah semangat dalam diri
Mengusahakan memberi yang terbaik
Mengajarkan tentang kesabaran dalam penantian
Dan tentunya tidak terlepas dari peranan Tuhan
Sang Maha Cinta yang mempertemukan mereka




                                                                           
04 Desember 2013

                                                                            Aidah dimalam yang agak gerimis. ^_^




 

Minggu, 23 Maret 2014

Flashback : Putih Abu-Abu MAN 2 Pontianak

Malam ini, ketika aku mencari sesuatu di lemari buku, tak sengaja aku melihat kumpulan berkas ketika masih di MAN 2 Pontianak. Tersenyum aku melihatnya. Membuka catatan-catatan, arsip, serta beberapa bulletin yang sempat kami terbitkan ketika kelas X dulu. Beberapa kilasan tentang perjuangan, kenangan manis, pahit masa putih abu-abu itupun terlintas.

Pertama kali masuk sekolah, awal kelas X, pagi-pagi sekali aku datang ke sekolah. Sempat merasa canggung, karena aku berasal dari MTs nun jauh disana, Singkawang. Banyak sekali para siswa membuat kelompok-kelompok sendiri, berbincang-bincang. Sudah ku kira, mereka berkelompok karena berasal dari MTs atau SMP yang sama di Pontianak. Ku buang kecanggungan itu dan langsung jadi “buntut” dari sebuah kelompok yang aku hampiri, kebetulan adalah kelompok siswi dari MTsN 2 Pontianak.

Seiring berjalannya waktu, banyak teman baru yang aku kenal. Dari yang kalem, malu-malu, pandai bicara, ribut, sampai yang agak “aneh”. Guru-guru yang mengajar juga punya ciri khas masing-masing, mulai dari logat bicara sampai ciri fisik, seperti kumis yang me”legenda” misalnya. Hehe. .

Tapi dari beberapa guru, ada guru yang paling berkesan. Karena beliau lah, aku pindah haluan ketika pemilihan jurusan. Dari IPA ke IPS. Terlalu panjang jika aku ceritakan mengapa demikian (mungkin akan ku ceritakan di edisi khusus), singkat cerita, aku merasa terzalimi (bahasanya. . . :D ), guru itu tidak adil dalam memberi nilai ketika ulangan harian (catet, hanya karena ulangan harian) dan selalu meremehkanku di mata pelajarannya (salah satu pelajaran IPA).  Padahal tiap semester aku selalu meraih peringkat ke-3 di kelas XE dan aku selalu aktif dikelas. 

Sampai saat ini, ketika mengingat hal itu ada sedikit perasaan kesal karena ketidak adilan itu, tapi juga ada ucapan terima kasih terhadap guru itu. Salah satu alasan mengapa aku memilh IPS adalah karena menghindari guru tersebut.

Seru ketika kelas X, yaitu saat pertama kali aku mengenal organisasi. Aku ikut paskibra sekolah (walaupun tinggi ga nyampe 160cm, hehe. .), ikut FSRM yaitu rohis di MAN 2 Pontianak, ikut Remaja Mujahidin dan Buletin MAN 2 Pontianak (Luqman el-Hakim, nama buletinnya). Lucu sekali ketika awal masuk organisasi, karena pengalamanku satu-satunya hanya ikut Pramuka ketika MTs.  Aku sangat pemalu, tidak bisa banyak bicara dan sangat “ordinary people” alias low profile alias siswa tak terlihat (banyak banget aliasnya?).
Pengurus Ikhwan FSRM dan Bulletin
Ini sama teman-teman FSRM dan Bulletin
Akhwat

Melalui organisasi itulah aku mulai belajar untuk bekerja sama, walaupun masih belum tanggap dan masih pemaluuuu banget kalau mau ngomong. Salah satunya cerita ketika di Paskibra, aku belajar tentang kedisiplinan, ketegasan dan kepemimpinan. Belajar tentang kekompakan, perjuangan ketika akan LTUB dan LKBB. Alhamdulillah, tim kami pernah meraih juara 1 LTUB  dan juara 3 LKBB pada tahun 2009.


Ketika LKBB. Aku yang mana hayo?

Selain belajar tentang kedisipilinan, menurutku juga belajar tentang mencintai negara dan menghargai nilai-nilai bangsa. Suasana benar-benar terasa ketika lomba LTUB. Saat itu aku sendiri sebagai dirijen (itu lho, yang mengayun-ayunkan tangan saat lagu dinyanyikan). Untuk pertama kalinya aku merinding dan kaki ku bergetar mendengar lagu Indonesia Raya. Dan suasana yang mengharukan ketika kami dikukuhkan sebagai Paskibra MAN 2 Pontianak angkatan 14. Letih dan perjuangan yang berat, karena satu tahun di paskibra kami baru resmi dikukuhkan.
 



  Walaupun terlihat pemalu dan pendiam, bukan berarti aku tak pernah melakukan kesalahan. Seperti makan di kantin setiap hari Sabtu jam 08.00 pagi ketika jam pelajaran berlangsung (hanya pas kelas X kok), terlambat 2 kali dan ada juga acara nyontek yang nyaris ketauan akibat teman-teman sekitar bangku yang grasak-grusuk berebut jawaban. Aku hampir tertawa mengingat hal itu, saat guru mulai curiga, menghampiri kami yang duduk di pojok belakang dan memeriksa bangku kami. Nafas tertahan, keringat mengalir dan jantung berdegup kencang. Ckckck. . . cukup cerita tentang kesalahan. Aku sudah tobat. 

Ketika kelas XI, aku resmi jadi siswa jurusan IPS. Hal-hal yang berat mulai terasa ketika aku dilantik sebagai ketua OSIS periode 2009-2010. Jika aku di IPA, mungkin yang aku lakukan pada saat itu hanya untuk belajar, belajar dan belajar, lalu mengesampingkan organisasi sejauh-jauhnya. Itulah mengapa aku mengucapkan terima kasih pada guru yang tidak adil itu, karena beliau aku mendapat segudang pengalaman ketika aku berada di jurusan IPS. Yang tadinya sangat pemalu, jadi lebih sosialis dan supel.

Cerita ketika menjadi Ketua OSIS, ketika perhitungan suara diumumkan seantero MAN 2 pada saat jam istirahat kedua, aku berhasil meraih 265 suara. Sedangkan kandidat lainnya masing-masing berjumlah 84 dan 168 suara. Aku bersyukur, senang pada saat itu karena memenangkan kepercayaan sebagian dari siswa MAN 2. 

Perjuangan itu dimulai ketika menjalankan progja. Jika benar-benar kelelahan, aku mengeluh dan menangis. Ketika pihak sekolah tidak sejalan dengan kegiatan OSIS yang sudah kami rancang jauh-jauh hari, aku kembali menangis kesal. Setiap classmeeting dan pensi, pergi pagi pulang sore. Sempat juga dimarahi ortu karena pulang malam menjelang pukul 23.30, itu karena ikut rapat persiapan reuni akbar bersama alumni. Pernah terlintas ingin menyerah, tapi mama dan abah senantiasa menguatkanku. Disinilah aku belajar dewasa untuk menghadapi masalah, belajar tentang kemandirian dan mengambil keputusan.
sambil nunggu, eksis dulu. .


Buat spanduk anak2 OSIS, MPK & KIR
Selain OSIS, tak lupa cerita tentang teman-teman. Ketika sedang berat-beratnya menjalankan tanggung jawab sebagai Ketua OSIS dan segudang masalahnya, aku sempat tertekan karena menjadi bahan gunjingan, olokan dan gosip teman-teman satu angkatan. Beberapa kali dipanggil guru BK dan jadi dimusuhi salah satu teman dekatku. Semua itu karena salah seorang siswi dan objek “kesalahan”nya adalah aku. “Heyy, aku korban. Mengapa jadi seperti ini?” protesku pada saat itu.

 Pernah karena aku tidak tahan lagi dengan ejekan itu. Ketika pulang sekolah, baru keluar dari gerbang, aku mendengar ejekan itu. Segera aku turun dari motorku dan menghampiri orang yang mengejek ku. Lalu aku berkata dengan keras, “Maksud kau ape ngolok-ngolok kayak gitu?! Sekali agik aku dengar kau ngolok aku kayak gitu, liat jak nanti pembalasan aku!” Nyaris berkelahi, dan menjadi tontonan siswa yang baru keluar dari sekolah. Ia terdiam dan aku pulang dengan cuek sambil menahan jengkel. Kalau saja aku tidak sabar, mungkin sudah aku dorong ia ke comberan atau kali yang ada tepat di belakangnya.

Mungkin kalian tidak akan mengerti apa masalah sebenarnya, tapi ini salah satu kenangan pahit selama aku di MAN 2. Kok jadi melankolis gini ya? 

Lanjuut. . . masih di kelas XI. Akhir semester genap, nilai-nilai ulangan harian meluncur berjatuhan. Aku kelelahan. Tapi Alhamdulillah, selama kelas XI meraih juara 1 walaupun terseok-seok untuk menggapainya.

Kelas XII, tahun terakhir masa putih abu-abu. Masa-masa ini aku habiskan untuk lebih dekat dengan teman-temanku. Soalnya selama di OSIS, aku jadi ngerasa sibuk sendiri dan kurang memperhatikan teman. Biasanya kan, kalau cewek-cewek itu suka ngelompok alias geng-gengan gitu. Aku? Sebenarnya sempat iri, karena kalau punya geng, selalu ada teman curhat dan kemana-mana ada teman. Aku sempat merasa jadi makhluk individualis. Pernah adik kelas bertanya, “Siapa teman dekat kakak? Aku ngeliat kakak suka jalan sendirian.”

Aku melongo mendengar perkataannya.  Nah, lho. . . Sebenarnya teman-teman tetap ada, hanya ga selalu bersama kayak cewek-cewek yang bergeng-geng itu.

Kelas XII lebih fokus ke belajar aja, maklum, mau menghadapi UN. Yang terkenang adalah ketika kami kelas XII merencanakan membentuk perkusi dan membuat baju batik angkatan untuk acara perpisahan. Karena kami kompak tidak mau pakai kebaya ketika perpisahan, maka kami bekerja sama untuk buat baju batik angkatan. Walaupun terdengar biasa, bagiku itu pengalaman luar biasa. Karena belum pernah dilakukan oleh angkatan-angkatan sebelumnya dan sampai tulisan ini dibuat belum ada lagi yang buat baju seangkatan yang “seluruhnya ditangani oleh siswa tanpa campur tangan pihak sekolah” seperti itu. Kami seperti memenangkan tender atau proyek besar (hahaha, lebay banget). Menangani baju siswa yang jumlahnya sekitar 170, bukan hal yang mudah bagi kami. Belum lagi kalau baju kekecilan atau kekurangan bahan, mau tidak mau harus ada yang mengalah memakai batik dengan warna berbeda.


Perpisahan angkatan 2011 @Grand Mahkota Hotel,
Foto bersama walikelas.
*lihat baju batik kami, hihi

Hari-H ketika perpisahan. “Siswa berdedikasi angkatan 2011 adalah Amanah Hijriah.”

Yahhuuuu. . . Aku naik ke atas panggung. Ada dua teman lain yang juga mendapat penghargaan. Aku menyalami kepala sekolah sambil menerima piagam penghargaan tersebut. Lalu tersenyum kaku ketika di foto didepan semua guru, siswa dan orangtua siswa. Lagi-lagi malu dan grogi. Hihi. . . #kali ini foto sengaja tidak ditampilkan.

Di lain hari setelah perpisahan, pada saat pengambilan SKHU, ucapan selamat datang dari teman-teman dan beberapa guru. Alhamdulillah, lagi dan lagi. Aku diterima jalur undangan (tanpa tes) masuk perguruan tinggi negeri yang aku pilih.

Dan disinilah aku, seorang mahasiswi jurusan Akuntansi angkatan 2011.
Cerita kuliah. Beda lagi. Inilah singkat cerita, flashback ketika masa putih abu-abu. . .
Aku rindu masa itu. But, life must go on.

Apa yang dilakukan sekarang adalah cerminan jadi apa di masa depan nanti.