Oleh : Amanah Hijriah
Entah sejak kapan tekad yang “tidak penting”
ini dimulai. Ku rasa sejak aku melihat banyak orang-orang berseliweran memakai
jubah hitam dengan topi bertali di kepalanya.
“Aku tidak ingin mengenakannya jika belum saatnya,
aku tidak ingin mengenakannya jika itu bukan perjuanganku. Aku hanya ingin
memiliki dan mengenakannya atas usahaku sendiri, jerih payahku dan memang waktu
ku.”
Beberapa kali aku sempat ditawari untuk mengenakan
benda itu dengan iming-iming, “ayolah, supaya kau lebih semangat.” Sebenarnya
ada rasa penasaran, bagaimana rupaku? Pantaskah? Ku tahan keinginan ku. Jika orang menjadi lebih semangat karena telah
mengenakan benda itu, lain halnya dengan ku. Tidak berlaku.
Kini kawan, 3 tahun 7 bulan telah berlalu
sejak aku tercatat menjadi salah satu mahasiswa Fakultas Ekonomi jurusan
Akuntansi di Universitas negeri. Hari ini aku meraih gelar Sarjana Ekonomi atau
yang disingkat SE, tepat dihari Jumat. Banyak hal yang ingin ku ceritakan,
bukan hanya tentang benda yang disebut “Jubah dan Toga Wisuda”, tapi juga
berbagai pertanyaan besar dan kisah yang “tidak penting”, tapi menjadi sangat
penting bagi sang aktor (dalam hal ini aktris) yakni, diriku sendiri.
Awal bulan kedua di semester 7, sudah 5
judul yang ku buat. Ancang-ancang jika saja judul pertama tidak diterima, aku
masih punya judul lainnya. Dengan semangat ’45 aku dan sahabat ku konsultasi
dengan dosen pembimbing (dosbing) yang sama, tentu saja dengan judul dan
bidang akuntansi yang berbeda.
Aku dan sahabatku, selalu berjalan
beriringan. Saling menyemangati, ke perpustakaan dan kebut-kebutan mengerjakan
BAB 1-3 demi seminar lebih awal. Akhirnya seminarnya juga, walaupun waktu kami
berbeda.
Yang namanya mengerjakan tugas akhir atau S-K-R-I-P-S-I,
siapa sih yang tak pernah penat atau jenuh? Di tambah lagi, aku ikut kursus bahasa,
mengerjakan tugas kuliah dan sempat-sempatnya sakit selama 3 minggu. Alhasil, “benda
keramat” itu tak ku sentuh berminggu-minggu.
Sampai suatu hari, ketika aku konsultasi ke
dosbing, beliau bilang “kamu harus selesai dibulan April, jika tidak maka
seminar ulang. Memang begitu aturan sekarang”.
Bagai disadarkan dari mimpi yang panjang, ku
garap BAB 4-5 dalam waktu 1 bulan. Bolak balik konsultasi, mau pagi, siang,
bahkan malam. Menunggu berjam-jam adalah kerjaan mahasiswa tingkat akhir, kini
aku paham bagaimana rasanya menunggu dosen. Cemas, berharap dan bimbang apakah
benar apa yang sudah di tulis.
Selang beberapa waktu, yang di tunggu dengan
sabar akhirnya datang juga masanya. Yaitu, ACC dosbing utama untuk sidang. Uuuu
yey..! Belajar belum, berkas sidang pun belum lengkap. Seminggu, dari pagi
sampai siang, kadang pun sampai sore demi mengurus berkas syarat sidang.
(Karena cerita terlalu panjang dan khawatir
pembaca bosan, skip saja cerita ketika sidang. Karena kawan-kawan pun pasti
pernah atau akan merasakan hal yang sama, yaitu penyakit nervous.)
Euforia setelah ujian sidang hanya
berlangsung selama 4 hari, karena pada hari ke-5 aku mulai menjalani pelatihan
bahasa selama sebulan. Full setiap pagi dari senin-jum’at. Ditambah dua kursus
lainnya.
Awalnya enjoy saja menjalani semuanya, tapi
lama kelamaan mulai galau. Dibayangi dengan berbagai pertanyaan.
“Akan jadi apa aku kemudian?”
“Dimana aku tahun depan?”
“Apa yang harus ku lakukan sekarang?”
Kawan, kursus kesana kemari adalah upaya ku
untuk membunuh rasa bosan dan bingung atas pertanyaan ku sendiri. Namun bukan
berarti aku tak tau kemana tujuan ku setelah ini. Yang ku jalani adalah bagian
dari proses panjang untuk tujuan ku selanjutnya. Kadang enjoy, kadang mulai
galau, kadang merasa tak berarti, kadang senang, kadang penat, kadang
bersemangat, kadang. . . (kebanyakan kadang) :D
Jujur saja, aku tidak ingin segera
mendamparkan diriku diperusahaan-perusahaan, kantor-kantor atau dimana saja
yang intinya, BEKERJA TETAP, TERIKAT KONTRAK dan DUDUK DIDEPAN LAYAR KOMPUTER.
Kesenanganku adalah belajar dan duduk dikelas, walaupun aku tau persis bahwa
aku bukan orang yang begitu rajin.
Oleh karena itu, disinilah aku. Masih
bergelut dalam berbagai pertanyaan dan baru beberapa langkah diatas “jembatan
penyebrangan”. Rasanya ingin berlari saja, namun segala sesuatu tidak ada yang
instan.
Mereka yang belum menyelesaikan studinya
berkata, “Senangnya yang sudah selesai,” atau “Kamu enak ya sudah selesai, aku
belum nih, (bla-bla-bla, berkeluh kesah tentang hambatan yang dia alami)” atau “Aku
ingin cepat-cepat selesai, stress kelamaan kuliah”.
Bukannya sinis, namun ketika sudah
menyelesaikan studi, tekanan yang kau hadapi malah semakin besar, kawan.
Jangan senang terlalu lama, dan juga jangan terlalu lama dalam tekanan yang
sama. Paham maksud ku?
Pasti paham, karena kau sudah atau nanti juga
akan merasakannya. :)