“Aku belum pernah ketemu sama dia, tapi kata teman-teman,
dia itu cantik banget lho..” kata Indah disuatu hari ketika mereka bermain.
Indah, Tya & Ana, mereka masih duduk dibangku SD. Indah dan Tya dikelas 4
SD, Ana sendiri dikelas 5 SD.
“Jadi pengen tau,” sahut Ana.
“Dia sekolah dimana?” tanya
Tya.
“Di SDN 07. Kita main yuk ke rumahnya, di komplek Sarikendi,” ajak Indah.
“Jauh banget rumahnya,” Tya dan Ana bersungut-sungut. Bimbang mau ikut atau
tidak, karena jarak rumah mereka ke komplek Sarikendi terbilang jauh &
mereka khawatir tidak akan diizinkan oleh orangtua mereka.
Pada hari minggu, pukul 09.30 pagi Indah dan Ana pergi
ke komplek Sarikendi dengan naik angkot. Tya tidak ikut karena harus pergi
membantu orangtuanya bekerja.
“Stop, pak!” seru Indah. Mereka turun didepan komplek
tersebut dan berjalan memasuki komplek sekitar 300 meter.
“Nah, ini rumahnya. Sesuai dengan alamat,” seru Indah
menunjuk rumah yang dimaksud dan mencocokkan dengan alamat yang ada dikertas.
Indah dan Ana berjalan sampai ke teras rumahnya dan memanggil nama orang yang
dimaksud.
“Uktiii! Uktiii!”
Seorang nenek keluar dan menyambut mereka dengan ramah.
Mereka dipersilahkan masuk. Tak beberapa lama kemudian, keluar seorang ABG
kelas 6 SD. Celana panjang, rambut pendek hanya sampai sebahu, dan mengenakan
kaos lengan warna oranye. Penampilannya sangat tomboy, tapi wajahnya sangat
manis. Dialah Ukti.
Entah apa yang mereka bicarakan, padahal baru sekali bertemu
dan tidak dengan alasan yang jelas pula, tapi mereka begitu akrab. Hampir
menjelang zuhur, Indah dan Ana pamit pulang. Neneknya sangat baik dan beberapa
kali juga ikut bicara dengan mereka bertiga.
Belakangan Indah dan Ana baru tau, Ukti tergolong anak yang
bandel dan cengengesan, suka cengar cengir pula. Ukti juga senang bermain drum
dan ikut main band sama anak-anak SMP yang sebagian besar dari mereka
laki-laki. Tidak heran, karena melihat Ukti juga tomboy. Ia sering memegang
stick drum nya kemana-mana. Gaya ia bicara juga sangat tomboy dan ceplas ceplos, berbeda dengan
ABG pada usianya yang lebih cerewet dan manja dalam berbicara. Yang membuat
Indah dan Ana kagum, ia hanya tinggal berdua dengan neneknya. Ukti anak yang
mandiri.
9 tahun kemudian.
Gadis itu lewat mengenakan jilbab hijau panjang sampai
hampir menutupi setengah bagian tubuhnya dan gamis berwarna hijau pula yang
senada dengan jilbabnya. Benar-benar tertutup rapat. Wajahnya manis dan tutur
katanya lemah lembut.
Ana yang melihat gadis itu tiba-tiba teringat pada kawan-kawan
lamanya. Sudah sejak lama ia tak bertemu. Indah kini tinggal dengan kakaknya
dan pindah rumah. Sedangkan Tya pindah ke pulau lain mengikuti orangtuanya yang
bekerja ketika ia kelas 6 SD. Dan Ukti, lantaran rumah mereka berjauhan, sejak
SMP mereka tak pernah bertemu lagi. Apalagi sejak SMP, Ana sekolah didaerah
yang jauh dari kota asalnya.
Ana menatap gadis itu lebih lama. Rasa-rasanya kurang
percaya dengan apa yang ia lihat. Gadis berjilbab hijau yang baru saja selesai
berbicara dengan temannya itu, menoleh ke arah Ana. Mungkin ia sadar sedang
diperhatikan.
“Ukti…,” panggil Ana perlahan.
“Kamu Ana?” Tanya gadis itu.
Mereka tertawa bersama dan saling takjub.
“Aku ga nyangka kamu bisa berubah seperti ini,” seru Ana
masih takjub. Ia teringat Ukti yang dulu sangat tomboy, memegang stick drum
kemana-mana, bahkan topi terbalik yang tersangkut dikepalanya sambil ia tertawa
cengengesan. Ana geleng-geleng kepala.
Status mereka sekarang mahasiswi diuniversitas yang sama dan sekarang hampir disemester akhir.
Perbedaan fakultaslah yang membuat mereka baru bertemu hari ini.
“Inilah yang namanya hidayah,” gadis itu tersenyum.
“Masih main band?” goda Ana. “Hehehe…” aihh, rupanya masih
ada sifat masa kecil yang tertinggal dalam dirinya, yaitu cengirannya yang
khas.
*kisah nyata dan fiksi komposisinya 50-50.. ^_^
untuk teman masa kecilku..